George
George Konsultan

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Kisruh Tagihan PLN, Ketika Ruang Publik Daring Dikooptasi Kontraktor Opini

11 Juni 2020   02:08 Diperbarui: 13 April 2024   23:28 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisruh Tagihan PLN, Ketika Ruang Publik Daring Dikooptasi Kontraktor Opini
Ilustrasi [Coffee4Soul.club]

Arab Spring Revolts mengantarkan masyarakat politik dunia --bukan cuma Indonesia-- kepada kesimpulan bahwa media sosial --pengondisian opini di sini-- bisa menjadi alat memobilisasi massa di ranah luring, menggerakkan dunia politik konkrit.

Mulanya penggunaan media sosial sebagai pembentuk opini dan citra bersifat individual dan merupakan inisiatif kalangan bisnis. Mereka menggunakan figur-figur berpengaruh (influencer) di media sosial untuk menyampaikan iklan terselubung.

Berbeda dengan iklan konvensional di media massa, pelibatan figur populer media sosial membuat iklan sebuah produk tampil sebagai seolah-olah testimoni yang alamiah. Bahkan tanpa perlu testimoni.

Sekadar membiarkan sebuah produk tergeletak di atas meja saat si figur populer sedang bicara di depan kamera sudah menghasilkan pesan kuat bahwa produk tersebut unggulan sebab digunakan orang beken. Iklan memang lebih efektif disampaikan tidak sebagai iklan.

Dalam dunia media cetak, hal ini seperti menulis advertorial tanpa diberi border, sehingga seolah-olah menjadi sebuah artikel feature.

Nah, rupanya penggunaan social media influencer di dunia bisnis berkembang di dunia politik secara lebih masif, bukan lagi melibatkan 1-2 figur influencer tetapi keroyokan. Pengondisian opini dilakukan dengan melibatkan banyak akun---sering pula akun boot dan indentitas palsu yang disebut buzzer.

Di Amerika Serikat penggunaan buzzer politik sudah marak semenjak pilpres 2012. Saat itu dua dari lima orang AS menggunakan media sosial untuk tujuan politik; sementara sepertiga pengguna medsos menyatakan membaca promosi capres di media sosial.[3]

Di Indonesia, penggunaan buzzer politik sudah marak sejak Pilpres 2014, dan berlanjut pada pilkada DKI. Semua kubu yang bertarung menggunakannya. Jadi manupulatif jika sebutan BuzzeRP hanya dilekatkan pada kubu Jokowi. Bahkan kubu Jokowi sebenarnya hanya membalas teknik serupa yang terlebih dahulu digunakan lawan.

Pada pilpres 2019, penggunaan jasa kontraktor pembangunan opini ini sudah mencapai kondisi tidak bisa lagi dipukul mundur. [4]

Ketika pengaduan soal tarif listrik tak wajar --baik yang benar demikian atau karena kurang pemahaman-- beredar di media sosial, akun-akun kontraktor opini politik mengambilalih, mengkapitalisasinya sebagai serangan politik ke kubu Joko Widodo.

Tentu saja tidak semua posting solidaritas terhadap 'para korban' di media sosial dilakukan akun-akun buzzer. Sebagian yang cukup besar merupakan warga yang tulus dan sadar bahwa kecurangan korporasi memang harus dilawan bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun