Menjalani tugas sebagai penggiat budaya memberi kesempatan untuk belajar berbagai budaya, tradisi, seni, dan kearifan lokal masyarakat. Ragam cerita ini menjadi sumber untuk belajar menulis yang dituangkan di kompasiana dan blog www.utarininghadiyati.com
Jadi Navigator Dadakan
Hari ke sebelas ramadan. Bertahun-tahun lalu, ketika usia masih menjelang remaja, pertengahan puasa adalah saat yang menyenangkan.
Kala itu seperti anak-anak lain, saya sudah siap-siap untuk berburu pakaian baru. Artinya saya, kakak, dan Ibu akan pergi menjelajahi pasar baru.
Tempat belanja yang cukup jauh dari rumah, tapi dulu menjadi tujuan untuk mencari pakaian. Tanah abang tidak menjadi tempat yang kami datangu karena ramai.
Acara membeli baju baru memang sengaja dilakukan lebih dulu karena kami terbiasa pulang kampung ke Jawa Tengah. Selama kami berbelanja, Ayah akan memeriksa kondisi kendaraan agar perjalanan aman.
Sebenarnya saya tidak terlalu menunggu momen berbelanja karena membingungkan. Kalau tidak di paksa, saya bisa pulang dengan tangan hampa.
Saya justru menantikan acara berkendara bersama keluarga. Inilah momen berharga menikmati keindahan alam sembari bertugas menjadi navigator untuk Ayah.
Yup, bukan kakak dan Ibu yang mendampingi, tapi saya karena tidak mudah tertidur dan bisa ngoceh apa saja. Efektif banget untuk menemani perjalanan.
Rasanya saat itu saya belum bisa membaca peta tapi tidak perlu khawatir sebab Ayah hapal jalan menuju kampung halaman. Saya cukup berceloteh sambil memberi aba-aba (teriakan) kalau ada hal yang tidak sesuai di jalan, semisal ada orang yang mau menyeberang jalan.
Atau bertugas memegangi camilan dan minuman untuk Ayah. Ibu sih yang bertugas menyiapkan makanan dari kursi belakang.
Nanti kalau Ayah lelah, kendaraan akan menepi. Duduk bersama di tepi sawah atau kebun karet rasanya mewah sekali.
Dulu, acara berhenti di jalan bisa dilakukan dua hingga tiga kali. Maklum jalanan pantura bisa sangat padat. Apalagi kalau mendekati kawasan pasar.