Tradisi "Ngopak" Makanan Khas Sunda yang Mulai Tersisihkan Generasi Muda
Nama : Vanny Aulia
Prodi : Ilmu Komunikasi 2B
Instansi: Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia
Tradisi "ngopak" atau membuat opak makanan khas sunda pada Ramadhan 1444 H di Kampung Hantap, Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang mulai tersisihkan oleh generasi muda. Generasi muda lebih memilih untuk membeli opak dari pasar yang sudah jadi dengan alasan lebih praktis dibanding dengan membuatnya sendiri.
"Ngopak" merupakan salah satu tradisi masyarakat sunda di bulan Ramadhan yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Makanan khas sunda berbentuk bulat pipih terbuat dari beras ketan ini menjadi makanan khas yang lazim ditemui pada momen momen besar seperti Ramadhan, acara pernikahan, khitanan, upacara adat atau saat upacara budaya. Rasa opak ini gurih seperti kerupuk dan sering dijadikan kudapan atau dimakan bersama kari, opor, kupat, lontong bahkan bakso dan makanan lainnya.
Sayangnya, tradisi ini dari tahun ketahun mulai ditinggalkan dan hanya orang tua yang masih setia melakukan tradisi "ngopak" ini. Ibu Siti (53) salah satu warga setempat salah satunya.
Menurut Ibu Siti, tradisi ini harus selalu di lestarikan walaupun memang agak rumit karena proesnya yang panjang sehingga memakan waktu yang cukup lama dan dibutuhkan keuletan. Dari mulai mencuci beras ketan, menanaknya diatas tungku, lalu ditumbuk menggunakan 'halu' dan 'dulang' kayu, setelah halus baru di cetak menggunakan 'japlok' kemudian di tempelkan diatas 'jodang' sebagai wadah tempat opak dijemur nantinya sampai kering, saat proses penjemuran opak harus 'dilampog' dan di balik agar keringnya merata. Barulah setelah kering opak ini bisa digoreng atau 'dibeuleum' menggunakan tungku. "Proses ini yang membuat ngopak menjadi tantangan, alat alat tradisional yang semakin jarang ditemukan, minimnya pengetahuan generasi muda tentang cara pembuatan dan alat alatnya, juga perubahan zaman yang membuat mayoritas orang memilih cara yang lebih praktis dibanding harus membuatnya sendiri" begitu tuturnya.
Ada kekhawatiran Ibu Siti mengenai hal ini, meskipun memang opak bukanlah satu satunya makanan khas pada saat Ramadhan, namun tetap saja makanan ini menjadi salah satu ciri khas. Jika perlahan lahan ditinggalkan, bukan hanya tradisi ngopak saja yang akan hilang. Rengginang, wajit, angleng ulen dan makanan tradisional lainnya bukan tak mungkin akan ditinggalkan juga.
"Ramadhan ini hanya satu tahun sekali, sayang sekali rasanya bila hanya membuat opak saja sampai tidak sempat. Apalagi hal ini sudah menjadi kebiasaan, ibu merasa ada yang kurang bila pada bulan Ramadhan tradisi ini tidak dilakukan. Meskipun banyak di pasar yang berjualan opak, namun rasanya selalu ada yang berbeda. Apalagi opak yang dijual dipasar dipanggang menggunakan oven bukan 'dibeuleum' secara tradisional menggunakan tungku yang jelas membuat rasa dan aromanya berbeda." ucap Bu Siti.
"Padahal kampung Hantap ini salah satu kampung yang kental dengan bahasa dan budaya sunda, namun sekarang "ngopak" saja sudah jarang yang melakukan. Apalagi di daerah perkotaan yang memang cenderung sudah modern, pasti akan semakin jarang masyarakat sunda yang masih bersedia "ngopak" dengan cara tradisional." Ungkap Bu Siti lebih lanjut mengenai kekhawatirannya.
Terlalu banyak makanan baru yang lebih modern dan lebih disukai generasi muda dibandingkan makanan tradisional yang memang sebagian besar penikmatnya adalah kalangan orang tua. Menjadi tantangan besar untuk kembali mengenalkan proses pembuatan opak dan sejenis makanan tradisional lainnya agar generasi muda kembali tertarik dengan proses pembuatannya yang rumit. Menumbuhkan semangat, mencintai dan melestarikan tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun dari leluhur.