Tak Bisa Memberi Materi, Kami Mewarnai Hari
Esoknya, aku bangun lebih dulu. Ibu sudah sibuk di dapur. Api tungku telah mengaga, tanda ibu selesai memasak. Bapak sudah bangun, kami mengobrol ringan sebentar.
Si bayi dan mamanya tak urung bangun, padahal sudah jam 7 lebih. Bapak harus segera berangkat bekerja, buruh serabutan. Meski kerjanya serabutan, aku bangga, orang tuaku berhasil mengentaskan kami dari bangku kuliah dengan bekal sarjana di belakang nama kami. Bekal itu yang kami pakai untuk meniti kehidupan di level berikut. Bekerja, menikah, dan membina keluarga.
Istri dan anakku bangun. "Mbah atung (Kakung) di mana?", ujar anakku. Begitulah, kalau pas ke tempat Mbah, si kecil biasa bermain dengan Mbah. Melihat bis di tol juga seringnya dengan Mbah. Pas Mbah tidak kelihatan, pasti ditanyakan. Hal serupa dilakukan di rumah, "Mami, kau di mana?" "Papa, kau di mana?" Semua diabsen.
Hari itu, Mbah putri pas tidak ada kerjaan, tidak ke ladang juga. Praktis, ia seharian di rumah. Seandainya kami tidak menginap, Mbah putri bakal kesepian. Mungkin akan tetap ke ladang juga, sekedar mencabuti rumput atau jalan-jalan, bisa bersapa dengan para tetangga. Tapi, tetap beda kalau anak dan cucunya yang datang ke rumah. Ada temannya untuk diajak mengobrol. Lebih ayem.
Saat sudah pulang ke rumah, aku merenung, lalu bercerita pada istri. Tak bisa memberi materi, semoga kehadiran kami bisa sedikit mewarnai hari Mbah.
Hari ini, malam takbiran kami memutuskan untuk menginap lagi di tempat Mbah. Meski bakal terdengar suara takbir sepanjang malam, lengkap dengan dar-dor petasan dan kembang api, istriku tak keberatan. Adikku dan suaminya juga datang untuk menginap. Kami membuat ketupat, memasak sambal goreng, dan makan malam bersama.
Esok, rencananya akan bersilaturahmi ke rumah Pakde-Bude dan kerabat lainnya. Semoga ini pun bisa mewarnai hari-hari Mbah.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H. Mohon maaf lahir dan batin. --KRAISWAN