Dokter, Penulis, Pembicara Publik, dan Penikmat Kopi. Tulisan lainnya dapat dilihat di whitecoathunter.com
Puasa dan Penyakit Asam Lambung: Antara Iman, Ilmu, dan Sakit Perut
"Masih tidak puasa tahun ini?" tanyaku pada seorang rekan kerja di rumah sakit saat jam istirahat siang.
Dia menaruh sendok di pinggir cangkir teh yang masih mengepul. "Iya, saya masih tidak puasa, dok. Penyakit lambung saya parah. Pernah maksa puasa, ujung-ujungnya masuk IGD. Perihnya kayak lambung diperas pakai tangan kosong."
Saya tersenyum kecil. Dialog seperti di atas bukan barang baru. Setiap Ramadan, selalu ada orang yang ingin berpuasa, tetapi tubuhnya menolak. Ada yang sudah berusaha, tetapi tetap tumbang juga. Lalu muncul pertanyaan klasik: kalau begini, pasien penyakit asam lambung harus tetap puasa atau tidak?
Masalah ini tidak cuma perkara ilmu medis, tetapi juga urusan iman. Di satu sisi, ada dorongan untuk tetap puasa, supaya bisa merasakan kebersamaan Ramadan seperti orang lain. Di sisi lain, sakit perut itu nyata. Bukan dibuat-buat, bukan alibi, tetapi benar-benar nyeri sampai keringat dingin bahkan pingsan atau kejang.
Orang-orang sekitar pun punya pendapat berbeda-beda. Ya, di dunia modern ini setiap orang bisa menjadi komentator untuk urusan apapun, termasuk urusan apakah orang dengan penyakit asam lambung mampu atau tidak berpuasa. Ada yang bijak bilang, "Kalau sakit ya tidak usah dipaksa. Islam itu tidak memberatkan bagi umatnya." Namun, ada juga yang langsung kasih ceramah, "Masa kalah sama lapar? Nabi dulu perang sambil puasa, masa kita tidak kuat?"
Lha, ini urusan sakit perut, bukan medan perang.
Kalau bicara pakai ilmu, puasa ramadan itu sebenarnya bagus buat kesehatan. Tinjuan Tibi S dan Rekan (2023) yang terbit dalam jurnal Cureus tentang dampak puasa Ramadhan terhadap saluran pencernaan menyatakan bahwa intermittent fasting, yang konsepnya mirip puasa Ramadan, bisa membantu menurunkan berat badan, menstabilkan kadar lemak darah, dan bikin ritme biologis tubuh lebih baik. Bahkan, puasa bisa memperbaiki keseimbangan bakteri usus, menyeimbangkan hormon pencernaan, dan mengurangi peradangan dalam tubuh.
Namun, ya, hidup ini tidak sesimpel teori di jurnal kesehatan dan kedokteran. Buat orang yang punya penyakit lambung, puasa bisa jadi berkah atau malah musibah. Pasien dengan radang usus, penyakit refluks, atau dispepsia, misalnya, kebanyakan masih aman-aman saja kalau mau puasa. Namun, kalau yang sudah lanjut usia dan punya kolitis ulseratif atau ulkus peptikum (luka pada saluran cerna atau lambung/tukak lambung), risikonya lebih tinggi. Pasien dengan tukak lambung ini juga lebih rentan mengalami perdarahan setelah Ramadan.
Jadi, puasa ini teman atau musuh buat penderita asam lambung? Jawabannya: tergantung.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY CHALLENGE
Instagram Reels
Reportase Kondisi Pasar Jelang Lebaran
Cerita Mudik
Suka Duka Menyiapkan Sajian Idul Fitri
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025