Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022
Ugal-ugalan Beli Makanan, Giliran Ngabisin Ogah-ogahan
Well, padahal begitu azan Maghrib terdengar dan mulai minum segelas kolak dan sebiji gorengan saja perut sudah terasa penuh. Lha ini masih harus makan nasi beserta lauk dan dayang-dayangnya.
Please deh, kalau ada tawaran ngebungkus pasti saya yang pertama bakal melakukannya. Sisa makanan yang tak tersentuh itu mungkin bisa untuk makan kami sekeluarga selama dua hari ke depan.
Gaya hedonisme berbuka puasa ini kok rasa-rasanya jadi hal biasa di kota seperti Jakarta. Tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, booking tempat di restoran untuk buka bersama tuh jadi tantangan tersendiri. Mustahil pula dadakan jika tujuannya di restoran yang ngetop. Padahal ya itu tadi, mahal gaes.
Sudah mahal, pesan makanan banyak nggak dihabiskan. Sangat menggebu saat pesan, giliran makan nggak sanggup menghabiskan. Ini nggak cuma terjadi di meja saya lho. Meja-meja lain, orang-orang yang tak saya kenal, situasinya juga mirip. Makanan terlihat melimpah dan banyak yang tersisa.
Tapi jika diperhatikan, gaya berlebih-lebihan saat buka puasa tuh sebenarnya tak mengenal kasta. Buka puasa di rumah bersama keluarga biasa-biasa saja pun bisa berlebihan akibat lapar mata.
Segala macam takjil dibeli tanpa babibu. Ada kolak, teh manis, lontong isi oncom, gorengan dari mulai bakwan, pisang goreng hingga tahu isi, tidak lupa disempurnakan dengan makanan utama berupa nasi uduk ayam bakar atau yang lainnya.
Sungguh makan ugal-ugalan level rumahan ini mah, tapi ngabisinnya ogah-ogahan.
Fenomena kalap saat belanja makanan ini sepertinya memang terasa normal pada masanya. Semua orang bakal hepi, karena yang beli hepi dan yang jualan hepi juga.
Orang yang nggak hepi tentu mereka kalangan yang tidak mampu, mereka yang sudah terbiasa lapar sepanjang tahun, yang sebenarnya sangat pantas untuk menerima uluran tangan para mampu.
Padahal sepemahaman saya saat dikasih pelajaran agama dari guru di sekolah dulu, puasa itu diwajibkan agar orang-orang bisa ikut merasakan bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Begini lho rasanya lapar tuh, gini lho rasanya haus itu. Juga segala nafsu manusia yang harus dikendalikan melalui puasa.
Lha kok ini begitu bedug bunyi nafsunya lepas kendali semua?