Tradisi Makmeugang Ramadhan, Wujud Cinta dan Silaturahmi
Siang tadi saya berkeliling pingggiran kota, sambil berbelanja, menikmati tradisi khas yang kami sebut Meugang, tapi ada juga yang menyebutnya makmeugang, haghi mamagang, atau uroe Meugang.
alimtiaz.files.wordpress.com
Pandemi tak mengurangi kemeriahan pekan kala makmeugang. Bahkan dalam kondisi ekonomi sulitpun, tradisi ini kelihatannya tak pernah surut dari kemeriahan. Termasuk ketika awal pandemi di tahun 2020. Pasar dadakan tetap muncul serentak, yang telah disiapkan sejak malam harinya, hanya untuk satu hari spesial itu.
Memuliakan Tiga Momentum
Tradisi itu, sebenarnya cara tradisional masyarakat di Aceh memuliakan tiga hari penting. Satu hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan (meugang puasa), hari terakhir berpuasa atau satu hari sebelum memasuki hari raya Idul Fitri (meugang uroe raya puasa), dan sehari sebelum Idul Adha (meugang uroe raya haji).
Latar belakangnya lebih pada kegembiraan dan kekeluargaan. Gembira karena menyambut kedatangan Ramadhan, karena di hari meugang, kita mempersiapkan masakan berbahan daging sapi atau kerbau, untuk persiapan sahur pertama.
Tradisi makmeugang ini juga dilatari rasa kekeluargaan karena menjadi saat mengantar bingkisan daging untuk orang tua, keluarga jauh, kerabat walimah. Tradisi ini tumbuh menjadi bagian yang sakral di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Biasanya anak-anak yang telah berkeluarga akan mengirimkan daging untuk keluarganya maupun keluarga suami atau istrinya, sebagai bentuk penghormatan dan ucapan menyambut Ramadhan. Apalagi bagi pasangan yang baru menikah, seserahan meugang , menjadi buah tangan bagi keluarga besar mereka yang baru.
Muasal Tradisi
Keberadaan tradisi meugang, menurut banyak riwayat dikaitkan dengan era Sultan Iskandar Muda. Sebagai bentuk syukur kepada Allah atas kemakmuran dan kesejahteraan negeri, dan ucapan terima kasih atas pengabdian rakyat kepada pemerintahannya.