Meriam Blung Plok Masjid Kauman Pertanda Buka Puasa
Di tahun 1980-an, saya pernah berkunjung ke kota kecil tak jauh dari Jogja, mengikut orang tua bekerja sebagai peneliti. Selama masa itu kami tinggal di sebuah rumah diantara deretan rumah toko-ruko. Dengan trotoar lebar di depan rumah, menghadap ke sebuah terminal yang biasa disebut stamplat colt-mungkin dari istilah Belanda.
Deretan itu juga memiliki alur rel, karena ternyata juga digunakan untuk menambat dokar-gerobak kuda.
Dari sana pemandangan ke langit Barat terasa lepas, dengan deretan gunung Sumbing, Merbabu yang biasanya diselimuti kabut, dengan warna gradasi yang menawan.
Biasanya aku menunggu Ayah dengan duduk mencakung di antara bak-bak gerobak yang diparkir dengan pelana kuda yang telah dilepas dan kayu pengendali dibiarkan mendongak ke atas seperti menantang langit.
Beruntung ketika itu waktu puasa. Sebagai bocah, aku memaksa juga berpuasa, meski kadang setengah hari jika tak kuat menahan panas di bulan terik.
Saat yang paling menyenangkan, menjelang sore, ketika tak hanya aku, tapi ramai orang berhenti sejenak, turun dari sepeda, mencakung di atas sadel menunggu waktu berbuka.
Tak ada istilah khusus seperti 'ngabuburit" sewaktu menunggu berbuka. Pun tak ada aktifitas spesial lain, kecuali sesekali melempari pohon kenari dengan sandal, berharap kenari-kenari hitam berguguran ketika terkena lemparan.
Dari kulit hitam dan cangkang keras, menyembul biji kenari tipis berwarna putih terang, yang harus dinikmati dengan mencongkelnya dengan kayu kecil. Kecuali kenari yang matang sempurna, dengan biji terlepas, berwarna coklat terang.
Dentuman Meriam
Di sebelah barat di antara tutupan ribunan daun, meski tak nampak sedikitpun, bahkan tiang yang menjulang sebagai tempat muazin mengumandangkan azan dan sirine tua jaman perang yang biasanya dibunyikan kala menjelang berbuka, kata ayahku ada meriam besar.
Ada ceritanya tentang tembakan meriam penanda berbuka. Rupanya di beberapa negara , punya tradisi unik tersebut. Seperti di Mesir di era Kesultanan Mamluk pada abad 15 dan Mesir abad 19. Namun sebenarnya tidak sejak awal meriam dimaksudkan untuk penanda berbuka.
Bahkan awalnya, dalam sebuah cerita lisan pada era Kesultanan Mamluk Kairo, saat itu mereka ingin menguji meriam terbaru. Ketika dicoba bertepatan dengan waktu Maghrib, penduduk mengira tembakan meriam itu sebagai tanda waktu berbuka puasa telah tiba. Maka kebiasaan itu kemudian dilanjutkan setiap waktu berbuka puasa.
Kisah lainnya, masih di abad 19, penguasa Mesir Muhammad Ali atau pada masa Khedive Ismail yang menembakkan meriam buatan Jerman pada waktu magrib. Penduduk mengira tembakan itu tanda untuk berbuka puasa.
Nah di tempat aku rehat itulah, terdapat tradisi bom udara yang dinyalakan di halaman masjid, sebagai pertanda sudah saatnya waktu berbuka puasa, menurut banyak catatan hanya sampai dekade 1980-an. Letak meriamnya, waktu itu masih di masjid Kauman yang biasa disebut Masjid Besar Kauman Kebumen.
Ada istilah unik dari masyarakat di sana, dengan sebutan isitilah populer "blung plok". Maksudnya begitu bom udara dinyalakan dan berbunyi "blung" seketika itu juga makanan berupa takjil langsung diemplok atau dimasukkan ke mulut.