Surat untuk Sahabatku di Kampung Halaman: Pembangunan Fisik Mengubah Wajah Sosial Kampung Halamanku
Sahabatku,
Apa kabar? Bagaimana keadaanmu? Semoga kamu dan keluargamu dalam keadaan sehat dan bahagia.
Masih ingatkah dirimu ketika kita bertemu terakhir kali sebelum aku berangkat merantau ke Jakarta. Pertanyaanmu sangat tajam? Mengapa diriku harus meninggalkan kota tercinta, tempat kelahiranku.
Aku sulit menjawabnya. Keputusan yang harus diambil karena ibuku mengatakan aku harus merantau mencari perguruan terbaik supaya aku cepat lulus dan bekerja.
Beratnya meninggalkan kota ini adalah kota yang penuh dengan kenangan. Kenangan manis dan buruk. Tempat aku bisa mengenyam cinta keluarga di rumah yang sangat tenang dan lingkungan yang sangat nyaman untuk dihuni.
Aku ingat sekali teman-teman tetanggaku yang selalu guyub jika salah satu ada yang sakit. Kami membantu untuk mencarikan dokter dan menjenguk di rumah sakit hingga dia sembuh.
Lingkungan kami sangat menyenangkan dan asri, tiap rumah punya halaman . Meskipun tidak luas, tapi tiap rumah ada pepohonan atau tanaman hijau. Teman-temanku yang juga tetanggaku senang sekali naik sepeda jika ke sekolah. Jalan masih lancar dan banyak pepohonan sepanjang jalan keluar dari mulut gang rumahku. Sering disebut dengan "kampung kali" karena ada sungai kecil di sepanjang jalan raya depan gang itu.
Jika tidak ada sepeda, aku juga sering naik becak ke sekolah. Tak ada kemacetan dan sistem transportasinya umum belum ada. Tapi aku nyaman sekali naik becak dan sepeda tanpa dikepung oleh polusi udara kendaraan .
Ketika aku sering mudik karena masih ada ibu, aku selalu rindu untuk mencari kembali kenangan manis kota tercinta . Senang karena bertemu orang-orang tercinta dan sahabatku dan tetanggaku.
Waktu begitu cepat berlalu, ketika ibu meninggal sebelas tahun yang lalu, aku tak mudik lagi ke kota kampung kelahiranku.