Cerpen | Sepotong Hilal di Malam Takbiran
Hilal telah tampak serupa sehelai uban yang melengkung di atas langit. Dari balik bilik sebuah gubuk, sesosok tubuh mungil tengah terbaring di atas balai-balai bambu berukuran 1x2 meter yang beralaskan tikar pandan dan kain jarik usang. Di selatan gubuk itu terdapat pawon, tampak seorang wanita tua sedang membuatkan bubur untuk cucunya. Sudah berpuluh purnama gadis kecilnya itu hanya bisa berbaring sambil mengulang-ulang bacaan surat Al Fatihah.
Genduk, nama gadis itu, tidak pernah lagi berani menanyakan kepada neneknya mengenai keberadaan bapaknya. Ia hanya diberi tahu, bapaknya merantau ke kota berjualan cuanki. Ia takut bapaknya juga tidak berani pulang karena gagal membawa baju lebaran untuknya. Gadis itu tahu perjuangan bapaknya di sana pastilah sangat sulit. Ia pun hanya tahu secuil berita bahwa ibunya pergi bersama lelaki bermobil. Selain ibunya, di dalam mobil itu juga berisi wanita-wanita lain yang berasal dari kampungnya.
Seiiring bunyi sendal yang terseret-seret, aroma bubur menguar menusuk hidung gadis itu, semakin kuat hingga membuat perutnya berbunyi. Simbah pun duduk di sebelah Genduk sambil mengaduk dan meniup-niup untuk mengusir uap panas bubur dalam piring kaleng yang dipegangnya. Perlahan, simbah memasukkan sesendok bubur ke mulutnya. Genduk pun mulai mengulum bubur itu perlahan. Itulah suapan terakhir yang ditelannya. Tubuhnya dingin dan kaku dengan perut buncitnya yang sudah lama mengeras dan mata cekung menghitam yang tak henti mengalirkan air mata. Simbah mengusap air mata cucunya dengan ujung kain kebayanya. Suara simbah bergetar lirih mengikuti lantunan takbir yang terdengar dari speaker masjid.