Dunia ini hanya untuk disinggahi dan dinikmati sesekali kita memang akan kedatangan sial, tapi tak akan berlangsung lama tidak ada pesta yang tak usai demikian juga tidak ada badai yang tak reda.
Inikah Rasanya Lebaran Tanpa Ibu?
Hari itu sudah hari ketiga sejak mamah mengeluh tentang sakit dan sesak yang ia rasakan, terakhir kami berbincang lewat panggilan telpon yang entah kenapa dalam sebulan terakhir ini ibu semakin sering menelponku.
Mungkin mamah harus pindah ke Jakarta agar lebih mudah bagiku untuk merawatnya, fasilitas kesehatan dan jauhnya jarak tempuh dari kampung ke rumah sakit terbaik di kotaku lumayan cukup jauh. Akhirnya beliaupun mau mengikuti saranku untuk ikut tinggal bersamaku di Jakarta tapi dengan syarat adik ku yang nomer 3 harus sudah menikah dulu.
Sementara laju Busway yang kutumpangi macet dan membuatku sedikit terbang dalam alam bawah sadarku, kutatap lalu lalang ribuan kendaraan, mimik mimik wajah lelah para pekerja IBukota jakarta yang ingin sesegera mungkin tiba di rumahnya.
Tiba tiba dadaku sesak dan sekelabat wajah ibu membayang di langit langit koridor busway, betapa banyaknya waktuku yang telah hilang bersamanya, kuhitung hitung kembali usiaku dan seberapa lama aku berada hidup bersamanya di rumah kami yang selalu berpindah pindah tempat itu.
Semenjak meneruskan sekolah menengah pertama di tempat Paman di ToliToli, hingga lulus di sebuah sekolah kejuruan di kotaku aku tidak pernah lagi menetap di rumah kami. Separuh hidupku kuhabiskan untuk bertualang dari kota satu ke kota lainnya hingga akhirnya menetap dan memiliki keluarga di Jakarta.
Ah..serasa berat jemariku menuliskan kalimat per kalimat untuk menuliskan kisah ini, Dering handponku terus berbunyi di seberang sana terlihat jelas nama pemanggilnya "My Angel". Aku raih headsete untuk lebih memperjelas panggilan itu.
Telponku silih bergantian berpindah dari satu panggilan klien ke panggilan ibu, terkadang ibu kalah dengan panggilan klienku (sesuatu yang aku sesali hingga kini).
Sakit ibuku semakin parah, di rumah sudah ada dua adik-adiknya yang menemani beberapa malam ini ternyata. pikirannya semakin terbelah mungkin pernikahan adikku dan juga keinginannya untuk sesegera mungkin ke Jakarta, membuatnya semakin terkuras dalam pikiran yang tak pernah menenangkannya.
Kukirim uang untuk kebutuhan pernikahan Adikku dan juga untuk kebutuhan ke Rumah sakit, mamah harus segera di rawat sebelum penyakitnya semakin memburuk. untuk urusan berobat ibuku memang agak sedikit bandel dan susah untuk disiplin, semangatnya untuk tetap sehat mungkin sudah menghilang semenjak kesunyian melanda rumahnya usai dia pensiun dari guru sekolah.
Yah rumahnya yang dulu mungkin selalu ramai dengan ke empat anak-anaknya lalu seiring berjalannya waktu semuanya pergi satu persatu mengikuti takdir hidup mereka masing-masing.
Kakakku yang paling Tua sudah punya rumah sendiri meskipun mereka masih tinggal sekampung dengan mamah, aku di Jakarta, Kicki akan segera menikah di Kotamobagu dan Niar yang sudah menjadi pegawai negeri sipil di Gorontalo ikut serta dengan suaminya. Praktis ibuku tinggal sendirian di rumahnya dan hanya sesekali ditemani Kicky saat dia berada di rumah.