“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)
Deepening "Iqra"
Sembari menggigil dari balik selimut, Rasulullah pun dengan tergaguk-gaguk berkisah tentang hal ihwal di gua Hira pada bininya. Khadijah tahu, lakinya bakal menjadi manusia mulia pilihan Allah untuk menyuluh seantero isi bumi.
Dengan segenap kesejukan cinta dan kelembutan yang dituangkan secara seksama, ia menenangkan lakinya hingga tidur pulas---lalu turunlah wahyu berikut tentang "orang yang berselimut" yang tak kalah menggemetarkan Rasulullah, sebagaimana yang dikisahkan para sahabat.
Siti Khadijah r.a, menjadi sesungguh-sungguhnya bini teladan. Tempat yang pas untuk bersandar, kala gelisah. Tempat berteduh yang adem kala hati panas. Menghirup kasihnya melunturkan dahaga. Mendengar suaranya menenangkan. Disentuhnya meluruhkan semua gelisah.
Sosok Khadijah menjadi pelajaran bagi para bini di abad ini, agar sering-sering memperlakukan lakinya seperti Khadijah memperlakukan Rasulullah. Bila bini bagaikan Siti Khadijah, maka rumah bagaikan ubin mushola, adem dan bikin nyaman. Sebaliknya, bila rumah pengap seperti tempat ikan asap, karena kelakuan bini yang terus menerus bawel dan rewel.
***
Semiotika Iqra' tak menghendakinya berhenti sebagai teks final---yang mutlak dengan sendirinya atau secara serta merta. Karena setelahnya, dituruti dengan pengajaran- Allama bil qalam. Ada dua bagian penting pada ayat ini, yakni allama (pengajaran) bil qalam atau qalam, atau kalamus (bhs Yunani) yang artinya pena,
Al qalam, dalam semiotika Deseasure, adalah pesan simbol. Al qalam adalah penanda (signifiant), sementara pengajaran (allama) sebagaimana dalam QS : Al alaq : 4-5, adalah petanda (signifie)---sebagai proses konsepsi. Makna adalah relasi antara penanda---al qalam dan petanda--allama.
Secara fenomenologi, di dalam teks iqra, allama dan al qalam, ada pengalaman dan kesadaran sekaligus. Bahwa proses penciptaan dan membaca fenomenanya adalah pengalaman empirik yang ada di hadapan manusia---sebagai bentuk pengajaran.
Sementara mempelajarinya dengan dan sebagai al qalam, adalah kesadaran. Peristiwa indigenous, untuk menyerap semua yang terpampang di hadapan mata sebagai ciptaan dan sumber pengetahuan.
Pengalaman dan kesadaran tersebut, menjadi alat mendekatkan manusia dengan Al khalik. Karena otentisitas manusia adalah "menghambakan dirinya pada Al khalik (QS : Adz Dzaariyaat : 55).
Kesadaran manusia, dibentuk oleh kemampuan menyerap fakta empirik. Maka selain Al quran sebagai kitabullah, alam semesta pun merupakan ayat-ayat Ilahi yang perlu dibaca sebagai pengalaman dan kesadaran tertinggi.