Yuni Akbar
Yuni Akbar Guru

Yuni Akbar adalah pemerhati dialektika bahasa dalam ranah logika sosial, psikologi dan pendidikan. Penggiat Gerakan Literasi. Dan sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Waktu Terus Berlalu

25 Maret 2023   08:40 Diperbarui: 25 Maret 2023   09:12 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waktu Terus Berlalu
dok. pribadi

"Oke... oke... satu aja, ya?" kataku sambil mengambilkan sepotong tempe, lalu menggendongnya keluar dapur. Sulungku tidak jadi keluar, diam menyender di meja dapur seperti semula. Diam memberengut. Sorot matanya menuntut. Akhirnya aku ambilkan piring kecil, kuletakkan 2 potong tempe. Juga segelas kecil air putih.

"Ea mau buka sekarng?" aku mencoba membuatnya ragu. Dia menatapku. Seakan bertanya, 'Aku masih kecil, bolehkan?' aku tersenyum.

"Bismillah dulu," kataku sambil menyodorkan gelas dan piring tempe itu. Wajahnya  langsung berubah gembira. Dengan cepat diambilnya kedua benda kerinduannya itu lalu menghilang masuk kamar.

"Empe goyeng... agi... Mamamah..." baru  saja konsen ke masak, si bungsu sudah masuk dapur lagi. Akhirnya tempe goreng satu piring kubawa ke depan TV untuk mengamankan dapur.

            Begitu tiap sore kedua bocilku selalu wira wiri seperti setlikaan di dapur ketika aku masak untuk berbuka. Si bungsu yang baru 3 tahun itu pecinta gorengan sejati. Apa saja yang aku buat pasti akan dinikmatinya dengan riang gembira. Tempe goreng, tahu goreng, bakwan dan terutama pisang goreng. Mulutnya akan glowing berminyak-minyak setelah makan. Biasanya aku terus memandikannya sambil menunggu adzan maghrib.

"Ea...! Maem...!" panggilku dari depan kamar si sulung ketika adzan berkumandang. Diapun keluar sambil membawa piring tempe dan gelas yang masih utuh. Aku menatapnya tak percaya! Dia menengadahkan kepalanya sambil ketawa-ketawa. Lalu sengaja menubrukkan badannya ke kakiku. Senyum riangku dijawabnya dengan gembira,

"Aku ndak maem. Aku bisa puasa sampek maghrib hehe... Hehe..." katanya renyah dengan tawa manja.

"Alhamdulillah wa syukurilah...!" ucapku, "Ea memang keyen...!"

          Dan kamipun makan bersama dengan segala hidangan sederhana yang kusiapkan sendiri. Lalu kami ke masjid. Lalu pulang makan lagi. Lalu ke masjid untuk sholat isya' dan tarawih. Lalu pulang makan lagi. Lalu tadarus sebentar. Lalu main di tempat tidur sampai tertidur. Dan besoknya sudah sahur lagi. Begitu seterusnya sampai enambelas tahun kemudian.

            Aku tak lagi memasak tiap sore selama ramadhan sebab sulungku sudah bekerja di Jakarta. Bungsuku sudah disibukkan kuliah dan memilih tinggal di kos. Sedang aku memilih makan seadanya. Kadang membeli ketika pulang kerja, kadang merebus mie instan, kadang minum manis dan kurma beberapa. Adzan maghrib berkumandang, sendirian aku duduk di dapur yang dulu selalu diramaikan celoteh dan lari-lariannya anak-anak, kini sepi. Betapa cepatnya waktu berlalu.

            Sesungguhnya, memang demikian siklus hidup manusia. Lahir, tumbuh untuk melakukan amal-amal, lalu mati. Adakalanya ketika sedang sendirian begini aku berpikir tentang kematian. Kurasa semakin umur bertambah, semakin dekat pula ajal datang. Sambil menyeruput kopi jahe hangat pembuka puasa, ingatanku hinggap pada satu ayat di Al Quran surat Ar Rum ayat 54, "Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa."  Lemah salah satunya ditandai dengan lebih mudah lelah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Ini sangat terasa. Kalau dulu pulang kantor, tanpa istirahat langsung urusan bersih-bersih rumah, menemani anak belajar masih nyambi setlika dan sebagainya bahkan sampai malam  baru istirahat. Sekarang, pulang kerja duduk dulu, minum dulu baru urusan rumah. Kalau capek ditinggal istirahat, kerjakan sekenanya saja. Sudah tidak terlalu mementingkan kerapian, kebersihan dan keindahan rumah, yang penting badan terjaga istirahat hingga tidak sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun