Yuni Akbar adalah pemerhati dialektika bahasa dalam ranah logika sosial, psikologi dan pendidikan. Penggiat Gerakan Literasi. Dan sebagainya.
Puasa Pertama Setelah Syahadat
Kenangan tahun 1999.
Aku tidak pernah sama sekali menjalani puasa sebelumnya. Pantang itu berbeda dengan puasa karena ada waktu jeda yang panjang antara makan sebelum dan sesudahnya bisa sampai 12 jam. Aku juga tidak berada di lingkungan orang yang suka berpuasa atau pelaku tirakat. Tapi aku juga bukan orang yang suka makan. Biasa saja begitu. Tapi entah mengapa ketika mau menjalani sendiri puasa pertamaku aku khawatir akan tidak kuat. Aku membayangkan bagaimana bisa aku tidak makan sampai sehari penuh? Selain itu bayiku masih 6 bulan dan asi-ku lancar sekali. Katanya kalau puasa nanti asi-nya jadi berkurang bahkan habis. Tapi aku pernah mendengar cerita dari budheku atau siapa aku lupa, dulu ibuku ketika masih menyusui adikku pernah tidak makan seharian karena memang miskin hingga asi-nya tdk keluar. Tetapi setelah dia makan tempe goreng pemberian tetangga, asi-nya jadi lancar lagi. Kok bisa? Aneh, ya?
Tanpa ilmu yang cukup, aku memutuskan untuk puasa. Aku menyiapkan sahur dan buka dengan masak sendiri. Aku memasak sahur dan buka sendiri. Karena waktu itu aku tidak bekerja, jadi bisa leluasa memasak seharian. Maksudnya aku tidak bisa masak jadi kalau masak ya butuh waktu lama. Bahkan mengiris brambang bawang saja tidak rapi. Menggoreng lele bisa dari jarak 2 meter. Maklumlah sebelumnya aku tinggal di asrama dimana kebutuhan makan sudah ditanggung. Tapi, aku tidak bisa menyiapkan banyak makanan karena uang tidak punya. Maka yang aku banyakin ya nasi dan tahu tempe.
Hari pertama sahur rasanya aneh aja. Kok bisa jam 3 pagi makan nasi? Perut bisa begah, dong. Karena takut kalau nanti kelaparan. Aku makan banyak-banyak. Minum juga banyak. Akibatnya perutku penuh sekali hingga aku pusing. Setelah sholat subhuh aku ketiduran. Sepanjang hari kemudian tiap kali bayiku menangis, aku takut kalau asi-ku habis karena neteknya banyak sekali. Ternyata sampai sore hari, asi-ku masih lancar jaya.
Sorenya ketika berbuka, suamiku membelikan kelapa muda. Nasi, sop, lele dan tempe goreng. Luar biasa nikmatnya! Baru kali itu aku merasa habis makan so satified! Kok bisa, ya? Yang dimakan kan sama? Apa karena lapar? Beberapa waktu kemudian baru kutemukan hadits tentang ini. Bukan lewat google lah, kan belum ada waktu itu. Lewat kajian di TV tapi aku lupa siapa. "Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya." (Muttafaq 'alaihi). Ah, pantas, nikmat betul ketika berbuka. Tinggal menunggu bertemu Rabb.
Sahur hari berikutnya aku sudah tidak secemas kemarin. Aku makan biasa saja dan minum secukupnya. Seharian kemudian bayiku tidak rewel, berarti asi-ku lancar. Alhamdulillah. Sampai seminggu menjelang lebaran, haidku datang. Dasar belum punya ilmu aku tetap saja puasa walaupun tidak sholat. Waktu itu aku hanya berpikir, kalau tidak sholat tidak ada perintah mengganti, tapi kalau tidak puasa kan harus mengganti. Makanya daripada aku mengganti sendiri nantinya, aku teruskan saja puasa ha...ha...ha...! Amal tanpa ilmu itu parah!
Lagi-lagi aku baru dapat ilmunya stelah beberapa waktu. Bahwa bagi orang Islam melakukan ibadah itu tidak boleh menerka-nerka sendiri. Harus berdasarkan hujjah mengikuti sanad tertentu. Orang sekarang bilangnya dalil. Memahami agama dengan belajar pada seorang guru yang rawinya bersambung sampai Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam itu sangat penting. Artinya ketika aku melakukan apa yang kuanggap benar, maka aku salah. Andaikanpun pada konteks lain aku mengira-ngira benar dan ternyata sesuai dengan dalil, maka akupun tetap salah karena dasar mengira-ngira tadi. Jadi harus yakin ada dasar hujjah untuk melakukan suatu ibadah. Hal ini awalnya agak sulit aku terima karena kebiasaan kritisku. Pernah suatu saat aku berdebat dengan suami tentang suatu amalan, lalu suami berkata, "Semua harus bersumber pada Nabi." Lalu aku menukas, "Apa-apa kok Nabi, apa ndak bisa mikir sendiri?" Lhah, aku ndak sadar kalau jadi penganut hermeneutika! Tapi saat itu suami tidak bisa memberi penjelasan yang bisa aku terima. Maklum, aku ini tukang ngeyel, kalau logika tidak masuk maka aku tolak. Padahal tidak semua hal bisa dilogika, kan? Barulah ketika ada ceramah tentang sanad, aku paham. Agama bisa rusak kalau tiap orang menafsirkan Al Qur'an, hadits atau peribadahan dengan pemikirannya sendiri tanpa merujuk pada rawi dan pendapat ulama. Tidak beriman seseorang diantaramu sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (hadits ke-41 Arba'in). Begitu kira-kira. Eh... kira-kira lagi!
Hari- hari berikutnya aku sudah tidak cemas atau khawatir tentang lapar, asi yang berkurang atau lainnya. Malahan... sibuk mencari resep menu berbuka. Saat itu andalanku tabloid Nova. Setiap Rabu datangnya. Juga majalah Sedap Sekejap. Dari dua bacaan ini aku akhirnya pinter masak, setidaknya itu penilainku sendiri. Membaca menu-menu baru yang tampak nikmat dan bervariasi sambil mendengarkan acaranya Hajah Lutfiah Sungkar di Indosiar. Sebagai pemula di lingkungan Islam, aku bersyukur saat itu banyak mendapat ilmu dari acara ini. Setelah banyak membaca resep menu ini dan itu akhirnya masakanku kembali ke sop, tempe dan lele goreng. Khayal boleh tinggi tapi kalau kantong tidak mencukupi, bagaimana dong?
Beberapa tahun kemudian, ternyata aku suka dengan ibadah puasa ini. Senin Kamis, ayamul bidh, syawal semua aku coba dan ternyata nyaman. Beratku stabil. Sampai kemudian, entah dari mana setan mengganggu, aku tak lagi rajin melakukannya. Padahal sudah tidak lagi memberi asi. Ya iyalah, anakku sudah pada kuliah. Badankupun melar luara biasa. Ah... kemunduran!