Perbedaan Waktu Ramadhan dan Solat Tarawih
Memasuki bulan puasa ramadhan, bagi kita yang muslim ada baiknya alihkan konsentrasi sejenak. Fokuskan perhatian pada kegiatan menambah amalan-amalan baik. Kalau perlu, taruh di pinggir untuk sementara waktu beberapa urusan yang menimbulkan peluang adanya permusuhan. Termasuk soal-soal politik. Jika tak bisa menghentikan secara penuh, kurangi “rasan-rasan” terhadap lawan. Apalagi hingga mengumbar kekurangan dan aib. Buang jauh-jauh.
Fokus menambah amalan baik pada bulan ramadhan tidak berarti lalu stop melakukan kegiatan lain. Tidak. Bukan ini yang dimaksud. Terlebih yang memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari dan ada hubungan dengan profesi. Macam kewajiban kerja di kantor bagi para pegawai. Atau jualan di pasar bagi para pedagang. Tambah amalan baik maksudnya adalah mengerjakan ibadah yang memang khusus di dianjurkan pada bulan Ramadhan.
Salah satunya adalah ibadah Tarawih. Yaitu solat sunnah yang dilakukan pada malam hari, dan sebaliknya tidak boleh pada siang hari. Terdapat banyak versi tentang jumlah rakaat solat sunnah ini. Di negara kita, umumnya menggunakan 11 dan 23 rakaat. Tapi menurut Imam Ibnu Hajar a-Asqalaniy, para ulama ada yang menetapkan 11, 13, 21, 23, 39, 41 dan 47.
Hendak pakai yang mana..? Ya terserah. Yang penting bisa khusuk. Saat sedang solat tarawih pikiran kita tidak melayang kemana-mana. Meski ambil yang 23, tapi pikiran kita masih terbayang sisa kolak buka puasa yang rencananya hendak dihabiskan pasca tarawih, ya tak bernilai apa-apa. Sebaliknya, meski cuma 11 tapi konsentrasi hanya tertuju pada Allah, insyaAllah tarawih kita bernilai “emas 24 karat”.
Soal berapa jumlah rakaat tarawih yang sebaiknya dipilih, mari kita ikuti kisah menarik antara Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1971-1990 KH. Abdur Rozak Fahkrudin atau Pak AR, dengan Ketum PBNU periode 1984-1990 KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kisah dua tokoh besar panutan ummat ini layak dijadikan inspirasi tentang keterbukaan dan keluasaan ilmu agama dari beliau berdua.
Suatu ketika di bulan Ramadhan, Pak AR di undang oleh Gus Dur hadir ke Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dimaklumi, bahwa Ponpes Tebut Ireng merupakan kandang NU. Tempat dimana pendiri NU KH. Hasyim Asya’ri berasal. Karena merupakan kandangnya, maka mau tak mau, model ibadah yang dipilih ya yang sesuai dengan ajaran NU. Bukan yang biasa dilakukan oleh Muhammadiyah.
Saat masuk solat tarawih, sebagai penghormatan Pak AR diminta oleh Gus Dur menjadi Imam. Yang jadi makmum adalah ribuan santri pondok dan warga sekitar yang memang sudah biasa menjadi jamaah masjid. Karena yang minta Tuan Rumah, alhamdulilah Pak AR menyatakan siap sedia. Maka beranjaklah Pak AR dan Gus Dur masuk kedalam masjid yang lokasinya tidak terlalu jauh dari ruang pertemuan.
Sekedar info, warga Muhammdiyah seperti Pak AR terbiasa memilih tarawih 11 rakaat. Sementara NU ambil yang 23. Maka karena ada di kandang NU, sebelum mulai Pak AR tanya dulu kepada para jamaah. “Apakah ini tarawihnya mau pakai cara NU yang 23 atau model Muhammdiyah yang hanya 11 rakaat..”?. Mungkin karena ingin menunjukkan identitas, spontan para jamaah kompak menjawab “model NU-uuuuuuuuuu..”.
Pak AR mengiyakan. Dan mulailah beliau memimpin solat tarawih. Rencananya sebanyak 23 rakaat sesuai permintaan jamaah. Namun siapa tahu. Ternyata gaya Pak AR jadi imam tidak seperti para imam lain. Beliau melakukannya secara pelan, kalem dan halus. Akibatnya, baru delapan rakaat saja, durasi waktunya sudah melebihi solat tarawih 23 rakaat model NU.
Para makmun yang tak terbiasa dengan situasi tersebut nampaknya mulai “celingak-celinguk”. Memahami kondisi yang sedang berkembang, di sela-sela tarawih Pak AR tengok jamaah ke belakang dan bertanya ulang. “Ini tarawihnya lanjut pilih yang 23 rakaat ala NU atau bagaimana..?”. Tak seperti menjawab pertanyaan yang pertama tadi, diselingi gelak tawa untuk kali ini para jamaah justru kompak menjawab “ambil yang ala Muhammadiyah sajaaaaaaaaaaaaaaa”.