5 Alasan Kenapa Mudik Dianggap Candu
Kata mudik menjadi semacam candu atau zat adiktif untuk mengulang kembali ritual itu. Apatah lagi sebagai "mudikers" di momen lebaran. Mudik atau pulang kampung tak sekedar beli tiket, packing barang dan berangkat kemudian kembali pulang. Walaupun setiap mudik mengikuti alur dan rute yang sama. Akan selalu ada penemuan-penemuan berbentuk aneka cerita dan pengalaman dengan sajian berbeda.
Sependek pengalamanku. Sukar menakar mana suka dan mana duka saat mudik. Acapkali rentetan ritual mudik adalah akumulasi sekaligus antara suka dan duka. Aku coba tulis beberapa saja, kenapa mudik itu, kuanggap zat adiktif, ya?
Pertama. Mudik adalah menjemput rindu untuk bertemu berkumpul dengan orang-orang yang dicintai. Tak hanya yang masih hidup namun juga ziarah ke makam yang sudah pergi. Baik itu keluarga besar, handai tolan serta kawan-kawan lama. Yang terpaksa ditinggalkan selama perantauan. Tak banyak orang yang benci pertemuan, kan? bersebab itu, apapun dilakukan dan diadakan agar bisa mudik.
Kedua, Mudik itu mengulang kenangan dan kesenangan. Buktinya sederhananya? Keponakanku baru tujuh bulan merantau ke Jakarta. Terpaksa pulang via pesawat karena izin kerja mepet deket lebaran. Lumayan tiketnya; Jakarta-Bengkulu 1,4 juta dan Bengkulu-Jakarta 1,2 juta. Jumlah segitu, kukira satu bulan gajinya.
Kebetulan Hari ini Keluarga Besar ngadain acara "Bukber". Yang dikejar keponakanku adalah "Tumis Kangkung Pedas" dan "Pempek Kates" hasil olahan Khas Ibu dan neneknya. Aku sepakat dengan ujaran,"Masakan Ibu" apapun rupanya, tak ada yang mengalahkan di saat merantau! Sepakat?
Ketiga, mudik itu bisa mere-charge semangat dan motivasi. Acapkali tanpa disadari, daya tarik saat di kampung halaman itu luarbiasa buat intropeksi diri. Kukira merantau adalah pilihan kesekian saat menjalani hidup, kan? Namun penyaksikan fenomena kodisi sosial dan ekonomi di rantau. Secara tak langsung menambah motivasi diri untuk kembali menjadi pribadi yang lebih baik.
Bisa jadi, jika kondisi sosial ekonomi di kampung halaman lebih baik. Kita bertekad berusaha sebaik mungkin di rantau untuk kembali ke kampung halaman. Atau sebaliknya, merasa beruntung dakam kehidupan di rantau dibandingkan orang-orang yang menetap di kampung halaman. Iya, tah?
Orang rantau itu lebih "wah". Misal penampilan dalam berpakaian, gaya bicara atau malah bahasa. Tak sadar, kita membawa "gaya hidup" di rantau yang malah sulit diterima orang-orang kampung. Atau malah kitanya dipaksa menyajikan diri sebagai "orang kaya baru". Maka, tak aneh kita musti adaptasi lagi dengan lingkungan di kampung sendiri! Apalagi jika udah lama merantau dan jarang mudik. Haha..
Kelima, akan hadirkan berbagai "titipan" dari orang-orang kampung sebelum dan sesudah mudik. Jika sebelum mudik, biasanya nitip oleh-oleh. Maka saat pulang dari mudik, akan ada titipan "anak mertua" bagi yang jomlo. Atau titipan sanak saudara atau malah anak tetangga untuk dicarikan kerja di rantau. Iya, kan?
Begitulah beberapa pengalaman yang kurasakan dalam berkali-kali berperan sebagai "Mudikers". Kukira siapapun orangnya, akan mengalami salah satu atau malah semua pengalaman itu, ya? Dan, itulah yang menjadi zat adiktif atau candu untuk kembali mudik. Tak peduli ukurannya suka atau duka. Ahaaay...