Sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com
Penyesalan Datang dari Hal-hal Kecil yang Disepelekan, #JanganMudikDulu
Setelah dihujat di beberapa lebaran, kali ini kita harus sepakat dengan Bang Toyib untuk tidak pulangĀ
Mari bicara dari hati ke hati di ramadan yang akan berakhir dalam 2 hari ini. Iya saya mengerti, sedih ya rasanya, tapi jika kita berhasil menahan diri untuk tidak mudik, ada rasa bangga tersendiri. Rupanya tak hanya lapar dan dahaga yang bisa kita takhlukkan di bulan ini tapi juga egoisme diri.
Tidak setiap hal dalam diri kita harus kita menangkan, termasuk keinginan untuk berlebaran di kampung halaman. Iya, saya tahu, kita punya sejuta alasan untuk pergi ke kampung halaman, tapi kita juga sudah dinanti sejuta alasan untuk bertahan di perantauan.
Ah, tapi kalau hanya aku yang mudik dunia tak akan kiamat, lagian aku merasa sehat.
Hmm...tau tidak kalau sejumlah penyesalan datang dari hal-hal kecil yang disepelekan. Pernah nonton film india judulnya Ugly? Sebuah film tentang seorang anak yang hilang setelah di tinggal sebentar oleh ayahnya di dalam mobil di parkiran. Filmnya panjang dan mengerikan untuk saya, tapi segala hal berawal hanya dari satu kesalahan. Tak ada 10 menit bocah malang itu di tinggal dan dunia telah merenggutnya. Ia di temukan tewas mengenaskan beberapa hari kemudian dibagasi mobil rongsokkan.
Maaf, saya tak bermaksud membawa cerita naas itu dalam pembicaraan kita, tapi saya hanya ingin menunjukkan bahwa banyak penyesalan datang dari hal sederhana yang disepelekan. Waktu tak akan pernah bisa diulang dan tak enak rasanya jika hidup dengan sisa-sisa penyesalan.
Saya tahu, rasanya tak adil karena kita mendengar ada beberapa orang yang berbuat curang, diam-diam mencuri kesempatan untuk ke kampung halaman. Ada juga yang tetap memaksa pulang dengan berbagai alasan keadaan dan tetap memenuhi berbagai protokol yang resmi dari pemerintah.
Beberapa hari lalu teman saya mengirim pesan, ia bertanya apakah tahun ini saya akan pulang. Saya jawab "tidak". Ia lalu bilang temannya bisa pulang dengan serangkaian protokol dan kenapa saya tetap tak mau pulang. Saya bilang, jika semua orang pulang dengan memenuhi protokol maka kinerja satgas dan pemda di kampung saya akan semakin berat.
Bapak pernah bilang, jangan buat hidup orang lain susah, repot dan rugi karena hidupmu. Tentu saja pesan semacam itu tidak mudah dilakukan. Apalagi kita adalah makhluk sosial yang selalu butuh bantuan orang lain. Tapi saya rasa maksud Bapak bukan itu, bukan untuk membuat saya jauh dari lingkungan tapi untuk memaksimalkan kemampuan diri agar lebih banyak membantu ketimbang dibantu.
Belum banyak hal positif yang saya lakukan untuk dunia ini. Selama ini saya hanya berfokus untuk hidup dan memikirkan diri sendiri. Jadi jika saya mudik pada lebaran kali ini, semakin bertambahlah daftar keegoisan yang saya kumpulkan.
Jangan mudik dulu, ya! Kali ini saya sudah tak ingin berkata demi keluarga di sana tapi demi dirimu sendiri. Kita tidak mudik untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mudik atau tidak mudik di masa ini menunjukkan sisi lain diri, siapa kita di tengah pandemi.
Iya, pastinya kita akan berhadapan dengan rindu karena berjarak. Tapi kalau benar rindu tinggal bilang. Kita belum dilarang untuk bilang rindu dan sayang kepada keluarga, kan?
Setelahnya ada banyak cara menamatkan rindu, seperti membuat kue yang sama, memasak menu yang sama, memakai baju yang sama meski berbeda tempat.
Hidup butuh rindu untuk menjadi lebih indah. Nanti, kita akan membayarnya bersama-sama, lunas dan tuntas. Tapi untuk saat ini mari kita ikuti dulu langkah Bang Toyib untuk tidak pulang.