Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com
Memaknai Lebaran Ketupat, Bukan Sekadar Tukar Lauk dan Makan-makan
Dapur-dapur di Desa Guyangsari Kabupaten Semarang kembali semarak di hari ke 7 lebaran Idul Fitri. Di hari ini ketupat kembali menjadi ratu dalam sehari. Kami menyebutnya lebaran ketupat, syawalan atau kupatan.
Seperti namanya, saat lebaran ketupat, warga kembali memasak ketupat lengkap dengan lauk berupa sayur opor ayam dan sambal goreng ati. Ada juga beberapa orang yang mengganti sambel goreng ati dengan sayur tahu, kentang, krecek dengan kuah santan.
Biasanya warga sudah melakukan persiapan memasak sedari sehari sebelumnya (hari 6). Pada hari ke 7, hasil olahan para warga di bawa ke masjid untuk didoakan (slametan) sebelum akhirnya dimakan bersama-sama.
Kurang lebih pukul setengah 7 pagi warga Guyangsari sudah berkumpul dengan membawa nampan atau tampah berisi ketupat dan lauk masing-masing. Dalam satu keluarga cukup perwakilan satu orang yang datang ke masjid. Biasanya Bapak, anak laki-laki atau jika tak ada laki-laki maka boleh diwakili oleh perempuan yang ada di rumah.
Acara di buka dengan pembacaan tahlil yang dipandu oleh tokoh agama setempat (ustad). Setelah pembacaan tahlil, ustad memberikan ceramah mengenai makna dan arti dari lebaran ketupat.
Ketupat sendiri merupakan kependekan dari "ngaku lepat" di mana lepat dalam bahasa jawa berarti "maaf". "Ngaku lepat" bermakna permintaan maaf, utamanya kepada Allah Swt lalu sanak keluarga, saudara, teman serta masyarakat sekitar. Hal ini juga dimaksudkan bahwa lebaran adalah momen untuk saling memaafkan.
Ketupat dibungkus dengan janur di mana dalam bahasa Arab yaitu Jaa a al nur yang berarti telah datang cahaya. Sementara dalam bahasa jawa diartikan sejatine nur yang bermakna bahwa manusia kembali suci setelah melaksanakan puasa ramadan.
Janur tersebut dianyam berbentuk segi empat. Anyamannya sendiri menyimbolkan bahwa hidup manusia itu rumit dan penuh liku-liku sehingga syarat akan kesalahan dan kekhilafan.
Ketupat biasanya ditemani lauk berbahan santan seperti opor ayam. Saking kentalnya ikatan kedua menu itu sampai-sampai di Jawa ada istilah "mangan kupat nanggo santen, menawi lepat kulo nyuwun pangapunten," yang artinya makan ketupat dengan santan, bila ada salah mohon dimaafkan.
Acara berlangsung singkat dan diakhiri dengan makan bersama. Para peserta saling menukar lauk meski secara garis besar menunya sama. Setelahnya warga kembali ke rumah masing-masing dan membawa sisa dari lauk-lauk tersebut. Ada yang berkurang tapi ada juga yang malah bertambah.
Di tempat kami, tradisi ini hingga kini masih rutin di lakukan oleh para warga. Warga masih percaya bahwa makna yang terkadung dalam tradisi kupatan masih relevan dengan zaman sekarang.
Selain warga Guyangsari, tradisi ini juga masih rutin dilakukan oleh mayoritas masyarakat di daerah Jawa seperti Magelang, Kudus, Jepara, Banyuwangi, Pasuruan, Batu, Demak, Madura, Trenggalek, Rembang serta Gresik.
Konon kabarnya ada juga beberapa daerah di luar Jawa yang melakukan tradisi serupa seperti di Manado, Lombok dan Gorontalo.
Asal mula tradisi kupatan
Tradisi kupatan sendiri dipopulerkan pertama kali sekitar tahun 1600an oleh Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Walisongo yang turut menyebarkan ajaran islam di pulau Jawa.
Tradisi ini lahir sebagai bentuk tanggapan atas adanya puasa syawal. Sebagaimana yang kita ketahui, setelah perayaan 1 syawal, umat islam dianjurkan untuk berpuasa selama 6 hari sebagai ibadah sunnah.
Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW: "Barangsiapa yang berpuasa ramadan kemudian berpuasa 6 hari di bulan syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Bukhari Muslim)
Baik lebaran 1 syawal maupun lebaran ketupat, keduanya merupakan simbol perayaan atas keberhasilan manusia dalam menahan nafsu dari segala sesuatu yang membatalkan puasa.
Meski berbentuk perayaan dan sudah menjadi tradisi turun temurun tapi masyarakat diharapkan tetap memegang teguh makna yang terkandung dalam setiap simbol yang ada. Dengan begitu kegiatan yang dilakukan bukan sekadar ritual serta acara makan-makan semata tapi juga sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt.