Lebaran: Menuju Mudik Hakiki
Oleh : Aboy Maulana Arief
"Mestinya, dengan idul fitri, dengan mudik segala arti, kita bisa menakar, mempertimbangkan, dan menentukan langkah kita besok sesudah Hari Raya-menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri." (Emha Ainun Nadjib, 2012:221 )
TENTUNYA, semua orang kenal dengan kata mudik. Kosa kata orang Indonesia yang sungguh sangat populer, terlebih mendekati akhir Ramadan.
Meski dilaksanakan di akhir Ramadan/menjelang 1 syawal mudik dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Mudik menjadi hal urgen bahkan seperti menjadi pelengkap kesempurnaan bulan Ramadan.
Kebiasaan mudik merupakan milik semua orang. Ia tidak mengenal status sosial, jenis pekerjaan, kedudukan dan pangkat. Para pekerja kasar, pegawai, pejabat dan mahasiswa rantau mengenal kebiasaan tahunan ini.
Perbedaan pendapatan dan strata sosial tidak membuat mereka lantas berbeda pendapat tentang mudik. Semuanya hanya memiliki satu tujuan, berlebaran (idul fitri) di tempat asal bersama orang tua, saudara, dan teman dalam suasana kebahagiaan.
Umat Islam Indonesia nampaknya memandang mudik-lebaran sebatas hari penuh kegembiraan yang harus dirayakan. Masyarakat Indonesia menilai bahwa sebuah kegembiraan tidak pernah jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat.
Tidak ada kegembiraan yang paling menggembirakan selain berkumpul dengan keluarga, kerabat dan sanak famili. Mangan ora mangan asal ngumpul, kata orang Jawa. Lebih baik disini, rumah kita sendiri, demikian kata salah seorang vokalis kawakan di negeri kita.
Atas dasar ini, satu Syawal dirasa lebih menggembirakan ketika orang merayakannya bersama keluarga, kerabat dan sanak famili. Dan atas dasar yang ini juga, orang-orang yang kebetulan bermukim di tempat yang jauh dari daerah asalnya (karena beragam alasan), selalu mengusahakan diri untuk merayakan kegembiraan satu Syawal bersama keluarga dan para kerabat. Semahal apapun biaya yang harus dikeluarkan untuk akomodasi mudik-lebaran, hampir semua muslim Indonesia rela mengeluarkannya.
Tidak begitu penting bagaimana mudik itu dilakukan, yang terbayang hanyalah kegembiraan saat berkumpul lagi bersama keluarga di hari yang penuh kegembiraan. Tidak hanya sekedar untuk berkumpul bersama keluarga, mudik juga merupakan penyambung silaturahim bagi orang-orang yang lama tidak berjumpa.
Selain itu, mudik bagi sebagian orang menjadi semacam gengsi status sosial. Para pemudik beranggapan bahwa peristiwa setahun sekali ini adalah momen yang tepat untuk membenarkan anggapan bahwa orang yang merantau (dari desa ke kota) tentunya memiliki kepemilikan lebih dalam hal apa pun.
Salah satunya adalah memiliki uang, terlebih jika memang ia bekerja mencari nafkah di kota. Orang sudah terlanjur menganggap bahwa kota adalah gudang uang. Orang-orang berhijrah mencari nafkah di kota pasti beruntung dan mengalami kemajuan.
Semua pemudik berhadapan dengan anggapan ini. Karenanya, sadar atau tidak, mudik bukan tidak mungkin untuk dijadikan sebagai sarana ujuk gigi atau untuk menunjukkan kemajuan yang sudah didapatkan pemudik semasa hidup di kota. Hal inilah yang kemudian memicu pemudik untuk tidak mudik kecuali dengan membawa kemajuan, apapun itu.
Entah pakaian, kendaraan, uang, gaya bicara, sampai kebiasaan yang sebelumnya tidak ada. Lebih parah, jika pemudik beranggapan yang penting mudik dengan membawa uang bagaimanapun cara mendapatkannya, yang penting terlihat maju dalam hidup dari manapun kemajuan itu didapatkan.
Tentunya, hasil pelatihan selama Ramadan sayang jika dirusak dengan hal ihwal mudik yang gagal paham. Sejatinya, mudik adalah ilustrasi fase perjalanan hidup manusia dimana orang yang merantau (hidup di dunia) kelak akan pulang ke tempat asal (akhirat).
Kembali ke tempat darimana sesungguhnya manusia berasal. Manusia berasal dari Allah dan akan mudik atau kembali kepada Allah (innaa lillaahi wainna ilaihi raji'un). Inilah mudik hakiki, mudik yang hanya menghargai kemajuan amal-ibadah bukan kemajuan dalam hal harta dan kepemilikan. wallahu'Alam****