orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.
Mengapa Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Masih Dipandang Pelajaran "Hiburan"?
Berdiam diri di rumah akibat anjuran Di Rumah Saja bukan berarti kita benar-benar diam. Tidak mengerjakan apa pun. Atau lebih sering menghabiskan waktu dengan rebahan.
Di tengah situasi pandemi, diperlukan keseimbangan mengorganisasikan kegiatan selama di rumah. Prinsipnya, terlalu sering berdiam diri tidak bagus untuk kesehatan. Demikian pula, terlalu banyak bekerja dan bergerak juga tidak baik bagi imunitas.
Olahraga menjadi salah satu aktivitas yang tidak boleh diabaikan. Penelitian telah membuktikan bahwa olah raga dapat mempengaruhi imunitas tubuh. Menurut ilmuwan olahraga, imunitas olahraga mengacu pada respons sistemik mucosal (lapisan mukus di jalur pernapasan).
Bagaimana kita bisa mengukur kebutuhan olahraga saat di rumah saja? Terlalu banyak dan terlalu sedikit itu sama-sama buruk, ungkap Tamara Hew-Butler, Associate Professor of Exercise and Sports Science, Wayne State University.
Yang baik adalah porsi yang sedang-sedang saja. Ada di tengah-tengah. Ilmuwan menyebut fenomena itu sebagai kurva berbentuk huruf "J".
Oleh karena itu, penting sekali menjaga keseimbangan aktivitas saat kita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Termasuk aktivitas anak-anak, yang cenderung lebih banyak diam manakala sudah memegang HP. Anak-anak juga perlu berolahraga dalam porsi yang cukup.
Sejak mulai belajar di rumah, anak saya yang duduk di kelas satu sekolah dasar, juga mendapat tugas dan panduan tetap berolahraga. Asumsi bahwa selama di rumah anak tidak banyak melakukan aktivitas fisik diantisipasi oleh program sekolah.
Sayangnya, aktivitas di rumah tidak memberi pilihan olahraga yang beragam. Meski demikian, anak-anak bisa mencoba ragam olahraga sesuai situasi dan kondisi. Selain itu, tidak kalah penting adalah memberi kesempatan anak melakukan aktivitas fisik secara bebas namun terukur.
Bersepeda adalah aktivitas fisik yang akrab dilakukan anak. Lingkungan rumah yang sepi di pagi hari dimanfaatkan anak saya bersepeda keliling kampung. Ia bebas memacu sepedanya tanpa khawatir berpapasan dengan motor atau mobil.
Kelihatannya sepele, namun berolahraga dan aktivitas fisik yang terukur dan berkualitas dapat menumbuhkan perkembangan fisik, moral, emosional, sosial, budaya, dan intelektual anak.
Saya menyampaikan apresiasi positif kepada sekolah anak saya, SDN Kepanjen II Jombang. Program berolahraga di rumah membuka kesadaran kita bahwa mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) tidak kalah penting dibandingkan tugas mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS).
Jujur, kita kerap memandang sebelah mata bahwa Penjaskes adalah mata pelajaran pinggiran. Tidak begitu penting. Sekadar mata pelajaran tambahan yang waktunya boleh digeser atau ditiadakan.
Bahkan, tidak sedikit para orangtua dan mungkin juga pihak sekolah menilai Penjaskes adalah mata pelajaran "hiburan".
Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Penelitian dari Youth Sport Trust menunjukkan, 38 % sekolah menengah di Inggris memangkas jam pelajaran pendidikan jasmani untuk siswa berusia 14-16 tahun.
Tahukah Anda apa alasannya? Alasan utama pemangkasan itu adalah tingginya tekanan kepada sekolah supaya anak mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Jam belajar untuk Penjaskes dipakai untuk menambah pelajaran atau les tambahan mata pelajaran akademik.
Kenyataan itu setali tiga uang dengan kondisi pembelajaran di Indonesia. Ketika siswa berada di kelas akhir (kelas VI sekolah dasar, kelas IX SMP, dan kelas XII SMA), jam belajar Penjaskes dipastikan terpangkas waktunya. Bahkan beberapa sekolah meniadakannya.
Alasan penggusurannya pun sama. Jam belajar Penjaskes digunakan untuk belajar mata pelajaran yang di-Uji Nasional-kan. Nilai akademik yang tinggi menjadi prioritas utama.
Lagi-lagi, kita berhadapan dengan mindset pendidikan yang menjadikan pencapaian nilai akademik sebagai dewa cita-cita tertinggi. Pendidikan yang seharusnya menawarkan cara berpikir yang utuh dan seimbang kalah oleh keinginan praktis yang hanya sesaat.
Yang salah tentu bukan mata pelajaran Penjaskes, melainkan sudut pandang dan cara pandang kita. Pelajaran olahraga memang dianggap pelajaran yang santai, rileks dan menyenangkan.
Jam belajar Penjaskes juga dinilai sebagai saat untuk bersenang-senang setelah siswa merasa suntuk dan tertekan usai belajar mata pelajaran yang di-UN-kan. Namun, bukankah aktivitas jasmani itu mendukung proses belajar secara luas?
Mindset yang bisa kita tawarkan adalah selain mendukung proses belajar, siswa juga memperoleh pengalaman belajar yang bermakna melalui pelajaran Penjaskes.
Pengalaman belajar yang bermakna, inilah problem pendidikan kita saat ini. Kita terlalu berorientasi pada formalisme belajar seraya mengabaikan dimensi substansial-filosofis dari proses pembelajaran siswa.
Yang diburu adalah formalisme nilai pelajaran matematika, bukan cara berpikir logis matematis. Yang dikejar adalah formalisme nilai pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, bukan visi berpikir logika saintifik. Yang dibanggakan adalah formalisme nilai pelajaran Bahasa Indonesia, bukan kemampuan dasar logika berbahasa.
Demikian pula dalam pelajaran Penjaskes. Yang penting siswa bersenang-senang dalam aktivitas fisik, bukan menggali dan menemukan makna tentang olahraga, kesehatan, keseimbangan tubuh, kerja sama team, kolaborasi, sportivitas, dan kandungan filosofis lainnya.
Kita tentu tidak ingin anak-anak muda kita menjadi generasi yang gagap menjaga kesehatan dirinya, gamoh dan mudah sakit-sakitan. Apalagi di tengah situasi pandemi kesehatan menjadi kebutuhan yang sangat mahal.
Bergeraklah, kecuali kita siap menjadi batu yang ditumbuhi lumut! []
Jagalan, 100520