Memaknai Toleransi, Keseragaman, dan Keberagaman dalam Berpuasa
Nah, sewaktu ayah saya pergi menjenguk anak-anaknya yang sedang kuliah, ia sempat kaget melihat perilaku orang-orang kota.
Di kota banyak didapati orang-rang yang tidak puasa. Bahkan terang-terangan makan dan merokok di sekelilingnya.
Mau menegur, sang ayah segera sadar bahwa orang-orang itu bukan saudara kami atau kerabat seperti di kampungnya.
Nah, itu salah satu perbedaan mendasar antara hidup di pedesaan dan di perkotaan.
Kehidupan di kampung sebagaimana saya tinggal sekarang cenderung seragam, adapun hidup di perkotaan jauh lebih beragam.
Di kampung semua orang adalah kerabat, sedangkan di kota banyak orang yang mengenal satu sama lain, bahkan tak kenal dengan tetangganya.
Tapi, sekarang kadang saya melihat, masih banyak orang yang lupa perbedaan-perbedaan mendasar itu, dan memaksakan praktik hidup yang menuntut keseragaman sebagaimana hidup di kampung. Padahal mereka sekarang hidup di perkotaan dengan segala keberagamannya.
Makanya, jangan heran masih ada orang yang kerap menuntut penghormatan kepada orang yang sedang puasa.
Wujud dari tuntutan penghormatan itu, semisal larangan memperlihatkan orang makan di depan umum, atau bahkan menutup warung makan di siang hari.
Padahal, dengan segala keberagamannya, penduduk kota tidak 100 persen muslim yang wajib berpuasa. Ada cukup banyak orang-orang yang bukan muslim, yang tetap membutuhkan makan pada siang hari.
Jadi, oleh karena itu sepatutnya kebiasaan dan tata cara hidup kita harus berubah, menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.