Memaknai Toleransi, Keseragaman, dan Keberagaman dalam Berpuasa
Di desa atau kampung tempat saya tinggal, mungkin saja 100 persen penduduknya adalah muslim (orang Islam). Hal itu lantaran kehidupan keseharian yang bertumpu pada tradisi kuat, budaya, dan praktik agama Islam yang sudah turun temurun.
Lantaran keseragaman itu, implikasinya, bagi non-muslim memang tidak terakomodasi oleh kearifan lokal dan budaya setempat.
Namun demikian, bukan berarti kami dan warga desa tak diajarkan soal keberagaman dan saling menghargai antar umat manusia.
Guru-guru agama kami, melalui bahasa agama yang kami yakini kerap mengingatkan soal cara pandang dalam beragama yang moderat hingga saling menghargai keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan.
Landasan dasar pemikiran keberagaman ini telah diajarkan sejak 14 abad lalu melalui firman Alah SWT dalam Al-Qur'an yang artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan mejadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah Swt ialah orang yang paling bertaqwa diantara kalian. Sesungguhya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar." (QS. Al-Hujurat : 13)
Ayat tersebut diatas mengajarkan pada kaum muslimin cara untuk menghadapi keberagaman yang memang sudah sunahtullah - tidak bisa dipungkiri- yakni dengan menerima perbedaan sebagai suatu rahmat atau berkah.
Artinya, perbedaan itu sebagai suatu yang berkah, lantaran dengan keberagaman itu hidup kita bisa saling mengisi, saling mengenal, dan saling berbagi tanpa melihat dari latar belakang status sosial, agama, suku, bahasa, warna kulit, budaya, atau adat istiadat.
Begitulah, orang kampung seperti saya diajarkan secara spiritual tentang makna toleransi. Tak hanya saya, kita semua juga pasti pernah diajarkan banyak hal di bangku sekolah yang substansinya sama yakni tentang makna "Bhineka Tunggal Ika"
Pengalaman spiritual itulah yang kemudian menjadikan negara kita tercinta ini tetap bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca juga: Puasa Media Sosial, Penting untuk Kita Lakukan atau Tidak?
Cerita toleransi dan bulan puasa
Saya lahir, tumbuh dan berkembang di kampung. di kampung pula saya mulai diajarkan berpuasa.
Kampung halaman saya sekarang sudah menjadi kota. Sebagian besar dari penduduk kota kelahiran saya ini adalah orang-orang yang dulu tumbuh di suasana masih kampung. Atau setidaknya sebagian penduduknya sekarang pernah dibesarkan oleh para orang tua yang berasal dari kampung.
Oleh karena itu, nilai-nilai yang saya anut dan sebagian mereka yang hidup di kampung halaman saya juga beranjak dari nilai-nilai yang dibentuk di kampung.
Namun demikian, dalam praktik kehidupan sehari-hari masih ada dari nilai itu yang terkadang sulit bertransformasi -- berubah - menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan toleransi dengan suasana perkotaan. Termasuk toleransi dalam menjalankan puasa di bulan Ramadan.
Akibatnya, masih banyak orang yang hidup di kota tapi hendak mempertahankan cara hidup seperti di kampung. Padahal kampungnya sekarang sudah menjadi kota.
Contohnya, di kampung saya dulu, hampir 100 persen penduduknya muslim. Hanya beberapa keluarga orang Tionghoa (China Benteng) yang berdagang di kampung kami yang bukan muslim.
Tidak hanya itu, sebagian besar penduduk kampung adalah baraya (keluarga atau kerabat turun temurun) yang sangat akrab.
Nah, dalam hubungan kekerabatan itu sudah lazim terjadi seseorang menegur orang lain yang bertingkah lalu dianggap tidak patut, termasuk dalam menjalankan ibadah puasa.
Seingat saya, meski hampir semua orang di kampung kami itu muslim, tidak semua berpuasa. Banyak juga yang tidak berpuasa dengan alasan tidak kuat, karena harus bertani, menjadi tukang bangunan, atau supir angkutan jarak jauh.
Sepengetahuan saya dulu, ayah saya kerap menasehati kerabatnya yang tidak puasa, baik secara langsung maupun dalam bentuk omelan untuk jadi peringatan terhadap kami sebagai anak-anaknya.
Begitu pun, para tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat tak sungkan memberi peringatan dengan teguran keras bila ada orang yang tidak berpuasa, dan terang-terangan menunjukkan ketidakpuasaannya kepada orang lain.
Nah, sewaktu ayah saya pergi menjenguk anak-anaknya yang sedang kuliah, ia sempat kaget melihat perilaku orang-orang kota.
Di kota banyak didapati orang-rang yang tidak puasa. Bahkan terang-terangan makan dan merokok di sekelilingnya.
Mau menegur, sang ayah segera sadar bahwa orang-orang itu bukan saudara kami atau kerabat seperti di kampungnya.
Nah, itu salah satu perbedaan mendasar antara hidup di pedesaan dan di perkotaan.
Kehidupan di kampung sebagaimana saya tinggal sekarang cenderung seragam, adapun hidup di perkotaan jauh lebih beragam.
Di kampung semua orang adalah kerabat, sedangkan di kota banyak orang yang mengenal satu sama lain, bahkan tak kenal dengan tetangganya.
Tapi, sekarang kadang saya melihat, masih banyak orang yang lupa perbedaan-perbedaan mendasar itu, dan memaksakan praktik hidup yang menuntut keseragaman sebagaimana hidup di kampung. Padahal mereka sekarang hidup di perkotaan dengan segala keberagamannya.
Makanya, jangan heran masih ada orang yang kerap menuntut penghormatan kepada orang yang sedang puasa.
Wujud dari tuntutan penghormatan itu, semisal larangan memperlihatkan orang makan di depan umum, atau bahkan menutup warung makan di siang hari.
Padahal, dengan segala keberagamannya, penduduk kota tidak 100 persen muslim yang wajib berpuasa. Ada cukup banyak orang-orang yang bukan muslim, yang tetap membutuhkan makan pada siang hari.
Jadi, oleh karena itu sepatutnya kebiasaan dan tata cara hidup kita harus berubah, menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Perubahan itu suatu keniscayaan dan tak perlu kita ngotot untuk melawannya. Cukup kita menyesuaikan diri saja.
Oh ya! Patut diingatkan pula bahwa puasa adalah urusan kita dengan Allah SWT, sehingga selayaknya tidak mesti melibatkan orang lain dalam urusan puasa kita. Semoga bermanfaat!
Nah, itulah Diari Ramadan 2024 saya dalam cerita toleransi Ramadan Bercerita 2024 untuk Ramadan Bercerita 2024 Hari 21.
Salam Literasi
Ade Setiawan, 31.03.2024