"Koran By Heart", Menawarkan Perspektif Berbeda Tentang Islam Lewat Kisah Tiga Hafidz Cilik yang Mengesankan
Koran By Heart, itulah judul film dokumenter yang saya tonton baru-baru ini. Greg Barker selaku sutradara sepertinya memahami betul bahwa menghapal Al-Qur'an tak cukup dengan otak semata, tetapi juga melibatkan hati. Oleh sebab itu ia memberi judul sedemikian rupa.
Koran By Heart yang tayang tahun 2011 di HBO ini terasa istimewa. Karena menawarkan perspektif yang berbeda tentang islam lewat kisah tiga hafidz cilik yang mengharukan di tengah situasi dunia yang tak baik-baik saja. Selain serangan bulan Juli yang menewaskan setidaknya 92 orang tewas di pulau Oslo dan Utya, Norwegia, kala itu media barat juga tengah disesaki oleh respon tentang islamphobia.
Film ini sendiri mengisahkan tentang kontes membaca Alquran tertua dunia yang diadakan setiap ramadhan di Mesir. Seratus sepuluh orang dari seluruh dunia dipilih untuk mengikuti kontes membaca Alquran tersebut. Tiga di antaranya tergolong peserta termuda. Yang menarik, mereka harus menghadapi peserta yang lebih dewasa. Bahkan dua kali lipat usianya di ajang bergengsi tersebut. Mereka adalah:
1. Nabiollah dari Tajikistan
Nabiollah sebagai pemenang pertama kontes membaca Al-Qur'an tersebut berasal dari Tajikistan. Meski tidak bisa berbahasa Arab, bocah sepuluh tahun itu mampu menghapal Al-Qur'an kurang dari setahun. Walau mengaku tegang saat melantunkan ayat suci Al-Qur'an, namun ia berhasil menyelesaikan dengan baik.
Tidak hanya mampu menghafal dengan baik, Nabiollah mampu membuat pendengarnya terhanyut dengan alunan ayat-ayat yang dibawakannya sebagaimana diakui Kristina Nelson, pakar bacaan Al-Qur'an non muslim.
Namun dibalik prestasinya yang gemilang, Nabiollah sesungguhnya tengah mengalami permasalahan. Sebelum berangkat ke Kairo, pemerintah Tajikistan menutup madrasah tempatnya belajar menghapal Al-Qur'an sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap kaum fundamentalis Islam. Ia harus berjuang menemukan sekolah baru agar bisa mendapatkan pendidikan sesuai impian ayahnya.
2. Rifdha dari Maladewa
Rifdha Rasheed, sang juara dua, harus menunggu hingga tengah malam sebelum gilirannya tiba. Bukan perkara mudah untuk langsung fokus dengan lomba sesaat setelah bangun dari tidurnya. Ia begitu gugup dan sempat melakukan kesalahan. Tidak heran jika Ayahnya ragu ia bisa meraih juara. Namun, ternyata dugaan ayahnya salah, gadis cerdas yang menyukai sain dan matematika itu berhasil menduduki posisi kedua.
Semua orang gembira atas prestasinya. Tak terkecuali sang ibu yang begitu bangga memiliki anak sehebat dia. Namun di balik itu ada hal yang menyesakkan dada. Saat Rifdha bercita-cita menjadi seorang penjelajah, ayahnya yang konservatif tegas menyatakan apa pun pendidikannya, gadis itu akan tetap menjadi ibu rumah tangga.
3. Djamil dari Senegal
Djamil mungkin memang tidak seberuntung Nabiollah dan Rifdha. Meski sudah berusaha keras, ia belum berhasil menunjukkan prestasi gemilang dalam kontes membaca Al-Qur'an yang dihelat di Mesir tersebut.
Djamil sempat kebingungan. Oleh sebab itu ia sempat keliru mengucapkan ayat-ayat yang dimaksud di layar komputer. Rasanya ikut sedih sewaktu itu menitikkan air mata. Pun ketika ia tertunduk mengetahui juri memberinya nilai yang kecil. Ia memang pulang dengan tangan hampa, tapi putra seorang imam terkenal di Senegal ini tak putus asa. Sepulang dari Mesir ia berusaha untuk menyempurnakan bacaannya. Ia berharap kelak bisa menjadi imam seperti sang ayah.
Pada akhirnya film usai juga, tapi tidak dengan kesan yang ditinggalkan. Kegigihan ketiga hafidz cilik tersebut mengikuti kontes membaca Al-Qur'an, patut mendapatkan pujian. Mereka berhasil menunjukkan bahwa "usia itu tidak penting, yang penting hafalannya". Bukan itu saja, kita juga diajak menyaksikan bahwa wanita memiliki derajat yang sama dengan pria. Tercermin dari kehadiran Rifdha Rasheed dalam kompetisi hafidz internasional yang digelar di Mesir tesebut.