Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Freelancer

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Beda Budaya, Beda Tradisi: Urgensi Kenakan Baju Baru di Hari Raya Idul Fitri

20 Maret 2024   15:04 Diperbarui: 20 Maret 2024   15:20 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beda Budaya, Beda Tradisi: Urgensi Kenakan Baju Baru di Hari Raya Idul Fitri
Baju lebaran sudah menjadi kebiasaan setiap momen Hari Raya Idul Fitri tiba | lustrasi gambar: freepik.com / freepik

Ada perbedaan yang cukup besar dalam tradisi menyambut lebaran antara latar belakang keluargaku yang dari Jawa Timur dengan tradisi lebaran di kampung halaman istriku yang notabene berlatar Sunda Banten.

Di kampung halamanku, setiap lebaran tiba maka sanak kerabat dan tetangga dekat datang saling berkunjung dari rumah ke rumah satu sama lain. Bersilaturahmi. Bermaaf-maafan. Tuan rumah yang dikunjungi menyambut setiap tamu yang datang dengan jamuan kue-kue lebaran dan minuman manis berjenis marjan.

 

Tak lupa, hampir semua orang akan mengenakan pakaian terbaiknya hari itu. Pakaian baru yang memang secara khusus dibeli dalam rangka menyambut momen syahdu tahunan bernama hari raya Idul Fitri.

Bukan hanya anak-anak, kelompok dewasa hingga para orang tua pun demikian. Kalaupun bajunya masih peninggalan tahun lalu, paling tidak, ada saja atribut yang baru untuk dikenakan. Sarung baru. Songkok baru. Mukenah baru. Sandal baru.

Memang, mengenakan baju baru ketika menyambut lebaran seakan sebuah keharusan bagi sebagian orang. Jika lebaran tidak mengenakan baju baru maka terasa ada yang kurang. Terlebih di daerahku yang masih menganut tradisi ngelencer ke rumah-rumah sekitar. Hal itu akan menjadi momen cat walk menampilkan baju baru lebaran yang dipunyai setiap orang.

Tradisi saling berkunjung tersebut seperti sefrekuensi dengan dorongan untuk memiliki baju baru setiap kali lebaran datang.

Tradisi Berbeda di Hari Lebaran

Lain halnya dengan tradisi yang berlaku di tempat istriku berasal. Sedikit berbeda dengan yang terjadi di kampung halamanku, di kampung halaman istriku setiap kali lebaran datang tradisi untuk berjabat tangan maaf-maafan justru terjadi di pemakaman. Saat ziarah kubur.

"Taqobalallahu mina waminkum. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin." jamaknya terucap dalam sebuah pertemuan yang dilakukan di rumah-rumah, gedung, atau musholla.

Namun, di tempat istriku hal itu justru dilakukan di pemakaman umum saat semua orang datang menjenguk sanak kerabat serta leluhurnya yang telah wafat pada momen hari pertama lebaran selepas menunaikan Sholat Ied.

Setelah saling bermaaf-maafan dengan keluarga inti di rumah, kami biasanya berduyun-duyun ke makam kerabat bersama-sama. Disana, kami akan bersua dengan saudara-saudara yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun