Maafkanlah Sebelum Dirimu Dimintai Maaf
Dalam kehidupan ini, berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya selalu tidak bisa ditebak. Sebagian dari peristiwa itu bisa menjadikan hati kita gembira dan berbunga-bunga. Namun pasti ada saat bagi kita untuk mengalami rasa sedih dan kecewa.
Dalam keseharian kita pun, di antara orang-orang yang pernah kita jumpai, tentu ada sebagian yang berhasil menciptakan senyuman manis di bibir kita. Bahkan tidak mustahil di antara mereka ada yang berhasil memendarkan kebahagiaan yang mendalam di hati kita. Akan tetapi, sudah barang tentu ada juga pribadi-pribadi yang entah "sengaja" atau "tidak" telah menorehkan luka dan menciptakan tetesan air mata di pipi kita.
Kata almarhum Kakek dan Nenek saya, semua itu adalah "bumbu" kehidupan. Karena kebahagiaan baru bisa kita jelaskan, bilamana kita sudah pernah mengalami kesedihan. Pun sebaliknya, kesedihan akan mudah dipaparkan jikalau kita pernah "berhasil" menjadi bahagia.
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya, mengapa saya menyebut ungkapan "berhasil" menjadi bahagia pada kalimat di atas? Sebab untuk menjadi bahagia, terkadang kita harus berjuang terus-menerus sampai merasakan kebahagiaan yang kita impikan.
Dan..., tentang "memaafkan" atau "bermaaf-maafan", pun dituntut perjuangan yang tidak selalu mudah untuk dilakukan oleh setiap orang; termasuk saya dan mungkin Anda.
Memaafkan dan Bermaaf-maafan
Saya punya pengalaman menarik tentang ikhwal memaafkan dan bermaaf-maafan. Dan pengalaman ini sebagian terjadi ketika saya masih anak-anak.
Dulu saya pernah mempunyai seorang teman, sebut saja namanya Reni. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, dia adalah salah seorang sahabat yang entah mengapa kerap mengusili saya. Postur tubuhnya lebih tinggi. Kadang-kadang secara tiba-tiba dia iseng "main tangan", ketika saya dan teman-teman lainnya sedang bermain bersama.
Karena termasuk anak yang bertubuh kecil, saya seringkali hanya diam manakala Reni menonjok wajah atau bagian tubuh saya yang lain. Sekali waktu Reni pun tak segan-segan menirukan gerakan "Mantili" -- salah satu jagoan wanita yang ada dalam serial Sandiwara Radio "Saur Sepuh", yang sedang kondang saat itu.
Tendangannya pun meluncur begitu saja ke arah saya. Dan tanpa berkomentar apa-apa, saya biasanya langsung ngacir ke sudut kelas atau ke bangku duduk saya, dan kemudian "menangis"! Cengeng, kan?
Ternyata setelah berhasil membuat saya menangis, Reni tidak serta-merta menghentikan aksinya. Dia pun masih mencoba mengusili saya dengan ejekan khasnya. Istilah zaman now-nya mem-bully"!
Kejadian-kejadian lainnya yang hampir mirip ataupun berbeda masih terus terjadi di waktu-waktu selanjutnya. Meski begitu, saya tidak pernah punya keinginan atau niat "pindah" sekolah. Dan saya pun tetap menjalani hari-hari saya setiap hari tanpa banyak mengeluh. Di situlah saya mulai belajar untuk menjadi seorang anak yang "sabar".
Jujur saja pada masa itu saya terkadang merasa marah dan dongkol pada kelakuan Reni. Tapi apa daya, berhubung postur badan saya lebih kecil, maka kenginan untuk "membalas" dendam hampir-hampir tidak pernah menjadi kenyataan. Sebagai catatan, tinggi badan saya saat itu hanya sebatas dagu si Reni. Jadi kebayang kan gimana susahnya untuk merealisasikan niat tersebut?
Seingat saya, saat hendak naik ke kelas 6, kami mendapat kabar bahwa Mama si Reni berpulang. Saat itu suasananya begitu mengharu biru. Reni hanya menangis dan kami semua hanya bisa ikut serta bersimpati padanya. Sejak peristiwa itu, entah mengapa saya merasa telah "memaafkan" semua perbuatan Reni selama ini. Apalagi semenjak ditinggal pergi oleh Mamanya, Reni menjadi pribadi yang introvert dan pendiam.
Karena sudah duduk di bangku kelas 6, saya dan teman-teman sekelas pun mulai mempersiapkan diri menghadapi EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Demi meraih NEM (Nilai Ebtanas Murni) terbaik, kami belajar lebih rajin dan mengurangi aktivitas bermain sehari-hari.
Dan hari yang kami tunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Alhamdulilah, kami dinyatakan lulus semua dan perpisahan "sederhana" di sekolah pun digelar. Di saat itulah saya dan Reni dan teman-teman lainnya saling "bermaaf-maafan". Sehingga setelah meninggalkan sekolah tersebut, hati kami merasa "plong" dan lega untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kejadian di masa kanak-kanak tersebut, jika saya refleksikan kembali di hari ini dan nanti, ternyata mampu memberikan pengalaman batin yang luar biasa bagi saya pribadi. Dan saya memaknainya sebagai suatu anugerah dari Allah SWT. Saya diberi kesempatan untuk belajar sabar, belajar memaafkan, dan mengalami suasana bermaaf-maafan yang indah dan berkesan.
Dan ketika tumbuh menjadi pribadi yang kian dewasa, pengalaman itu menuntun saya agar menjadi pribadi yang semakin sabar dari hari ke hari. Menjadi sabar bukan untuk mendapatkan pujian, namun dengan bersabar maka kita akan dijauhkan dari banyak percekcokan dan pertikaian yang mungkin terjadi. Kesabaran yang telah terbentuk inilah yang menjadikan saya lebih mudah untuk memaafkan, meskipun "seremoni" bermaaf-maafan belum terjadi atau dilakukan.
Tradisi Bermaaf-maafan dalam Keluarga Besar
Sudah menjadi tradisi keluarga besar saya untuk melakukan halal-bihalal di kediaman Pakde dan Budhe (paman dan bibi dalam bahasa Jawa). Biasanya adik-adik Pakde maupun Budhe akan berdatangan pada hari pertama Hari Raya Lebaran. Masing-masing membawa suami atau istri, dan anak-anaknya.
Selepas waktu salat Id, rumah Pakde biasanya sudah ramai dengan kehadiran kami yang datang satu-persatu dalam rombongan. Menu khas Lebaran yang dimasak oleh Budhe pun langsung terhidang di ruang tengah. Ada opor itik, sayur urap, gulai plus sate kambing, karih ayam, dan lain sebagainya. Selain nasi putih, juga disediakan ketupat yang bisa dipilih sesuai selera.
Sebelum menyantap sajian makanan yang ada, kami secara spontan saling mengulurkan tangan untuk bermaaf-maafan satu sama lain. Senyum sumringah terpancar dari wajah masing-masing, seolah tanpa jarak dan tanpa prasangka, semua prosesi berlangsung alami dan apa adanya.
Karena perayaan Idul Fitri terjadi setahun sekali, maka kami yang hadir di kediaman Pakde dan Budhe ada yang bertahan hingga sore atau malam hari; salah satunya adalah keluarga saya. Selama sehari itu, saya juga berkesempatan berjumpa dengan tetangga, kenalan, dan sahabat Pakde atau Budhe.
Praktis suasana damai di tengah canda tawa yang ramai, selalu menjadi ciri khas yang tak pernah pudar di setiap tahunnya. Tamu-tamu yang datang biasanya memilih lokasi tempat duduk sesuai selera. Ada yang memilih untuk berada di halaman rumah, ada yang duduk-duduk di teras rumah, ada yang berbincang di ruang tamu, sementara yang lain duduk lesehan di ruang tengah atau dapur belakang.
Semua itu tidak pernah dipermasalahkan; yang penting perbincangan tetap terjalin dengan asik dan menarik. Dan kalau kita sungguh berniat untuk mendengarkan setiap cerita yang ada, dijamin saat pulang ke rumah nanti kita akan mendapatkan bekal "kisah kehidupan" yang bisa dijadikan renungan dan sumber belajar.
Memaafkan adalah "Proses Belajar" Menjadi Sabar dan Sadar
Dalam keseharian tentu salah paham kerap terjadi di antara anggota keluarga, atau dengan sesama kita. Entah salah paham itu disengaja ataupun tanpa disengaja. Seperti kehidupan yang mengalir begitu saja.
Manakala aliran air terasa lancar, maka aliran itu akan melintas tanpa halangan. Akan tetapi ketika harus bertemu bebatuan cadas atau rintangan lainnya, tentu aliran air itu akan menjadi terhambat.
Demikian juga manakala kita mempunyai maksud atau niat baik dalam kehidupan, tidak semua pihak akan menerimanya dengan senang hati. Bahkan ada orang-orang yang tampaknya sengaja menjadi penghalang semua kebaikan itu. Entah apa alasannya, saya pun tak tahu pasti!
Tentu bila kita dipertemukan dengan situasi demikian, hati kecil kita pasti akan "berteriak" dan protes, dengan sebuah pertanyaan yang menyertainya: "Mengapa niat baikku mesti dihalang-halangi atau bahkan digagalkan seperti itu? Maunya apa, sih?!"
Berhubung di masa kecil saya sudah "kenyang" untuk menjalani kesabaran, maka saya pun woles saja mendapat perlakuan atau sikap yang kurang menyenangkan tersebut. Saya sadar barangkali mereka-mereka yang menunjukkan sikap "tidak suka" terhadap niat atau perbuatan baik saya itu memang merasa "belum mampu" untuk berbuat baik.
Di sini saya belajar untuk memaafkan, meskipun mereka tidak atau belum pernah minta maaf kepada saya. Jujur saja, tidak selalu mudah untuk melakukan hal seperti ini. Tapi saya menjamin bila ada yang mampu melakukannya, niscaya kedamaian dan kebahagiaan batin akan kita alami. Dan saya percaya bahwa itu adalah semata-mata anugerah dari Allah SWT.
Bahkan kita mungkin pernah menjumpai, orang-orang yang secara "seremoni" meminta maaf kepada kita, namun nampaknya tidak tulus dan terpaksa melakukannya. Realita seperti ini lagi-lagi mengajak kita untuk bersabar sekaligus berdamai dengan situasi yang tengah kita hadapi.
Al-Qur'an sendiri memberikan reward kepada setiap insan yang memilih kesabaran sebagai penghias amal saleh dalam hidupnya. "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas." (QS 39:10)
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari kesalahannya." (HR. At Tirmidzi no.2499, Hasan). Dengan demikian, dalam Islam, memaafkan orang lain adalah hal yang sangat dianjurkan.
Selain itu, mereka-mereka yang suka memaafkan kesalahan orang lain akan menjadikan hatinya tenang dan lapang. Orang-orang yang demikian itu tidak akan terperangkap kepada sesuatu yang sia-sia, menjadi lebih bijaksana dan mampu mengendalikan diri, kapanpun dan dimanapun tempatya.