Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.
Ternyata Sekarang "Me Time" Merupakan Hiburan Sahur bagi Saya
Entahlah kalau di kampung halaman saya. Tradisi tersebut masih lestari atau tidak. Semoga saja masih. Jadi, saya masih berkesempatan menikmatinya lagi jikalau mudik dan masih Ramadan.
Wah, wah, wah. Tema "hiburan sahur yang tak biasa" rupanya cukup mengakibatkan baper. Bikin terkenang masa lalu. Maklum sajalah, ya. Sejak tinggal di tengah kota Yogyakarta, saya tak pernah menikmati konser kenthongan lagi.
Jangankan pakai kenthongan. Sekadar mendengar orang keliling kampung sambil memanggil-manggil sahur pun, tidak pernah.
Sebagai gantinya, panggilan untuk sahur dikumandangkan dari pengeras suara masjid/musala. Itu pun cuma satu atau dua kali.
Mengapa begitu, ya? Apa karena saya berdomisili di perkampungan tengah kota? Yang warganya cenderung individualistik?
Perlu Anda ketahui, sebelum menulis artikel ini saya sempatkan cari informasi terkait hal tersebut. Saya berkirim pesan WA ke seorang teman yang tinggal di luar kota. Dia lahir dan mendewasa di kampung tempat domisili saya sekarang.
Dia bilang, sejak dahulu memang tak ada tradisi membangunkan sahur di situ. Terlebih pakai bunyi-bunyian. Dia menulis begini:
Terlalu ramai. Mungkin karena kita di kota 'kan udah rame. Tetangga sahur pun terdengar. Klo ngga, dibangunin tetangga.
O, baiklah. Jadi apa yang sekarang saya rasakan, sesungguhnya hanya kelanjutan dari masa lalu. Telah dirasakan duluan oleh teman saya itu.
Sampai di titik itulah saya tersadar akan sesuatu. Selama ini, karena suasana sahur di lingkungan rumah cenderung sepi, jiwa penakut saya menguat.
Kalau bangun sebelum atau sekitar pukul 02.00 WIB, saya langsung menjerang air. Kemudian baca buku, lalu menyeduh kopi ketika air mendidih.