Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Full Time Blogger

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Ternyata Sekarang "Me Time" Merupakan Hiburan Sahur bagi Saya

7 April 2023   22:47 Diperbarui: 7 April 2023   22:51 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ternyata Sekarang "Me Time" Merupakan Hiburan Sahur bagi Saya
Dokpri Agustina

Saya tercenung beberapa detik begitu membaca tema Samber untuk hari ini. "Hiburan sahur yang tak biasa". Hmm. Apa pula itu? Pikir saya mula-mula.

Yang biasa yang bagaimana? Yang tak biasa yang bagaimana? Ada-ada saja nih, temanya. Lagi pula, kalau sahur ya sahur saja. Mana ada hiburan segala? Rasanya aku tak pernah dihibur tuh, saat sahur. Gumam saya dalam hati.

Namun, tiba-tiba saya teringat pada sebuah VT yang pernah saya tonton. VT itu berupa rekaman kegiatan sekelompok pemuda di Maluku.

Mereka bermain musik dan bernyanyi riang gembira. Bahkan, ada yang joget tipis-tipis. Tujuannya membangunkan warga untuk sahur.

Saya pikir kegiatan mereka itu keren sekali. Kehebohannya pasti bikin orang bangun. Berarti tujuan kegiatan tercapai 'kan?

Kerennya, mereka tidak dimaki-maki dengan alasan berisik. Warga justru terhibur oleh permainan musik dan nyanyian mereka.

Karena yang dibawakan lagu-lagu bernuansa keislaman, khalayak sekaligus diingatkan (didakwahi).  Kebetulan dalam VT yang saya tonton, mereka menyanyikan lagu tentang kisah Nabi Yusuf a.s.

O la la!
Itukah yang dimaksudkan dengan "hiburan sahur yang tak biasa"? I see.

Dari situlah saya kemudian terkenang masa lalu. Dahulu saya juga kerap menikmati hiburan sahur. Namun, bentuknya konser kenthongan.

Sekelompok pemuda berkeliling kampung. Tujuannya membangunkan warga untuk sahur. Mereka membunyikan kenthongan secara ritmis. Sesekali meneriakkan  "Sahur, sahur."

Bila ada sebuah rumah yang masih tampak gelap dan sunyi, mereka akan konser di depannya. Rombongan baru bergerak lagi manakala ada tanda-tanda bahwa si pemilik rumah telah bangun.

Ah, masa lalu. Konser kenthongan itu kini tinggal kenangan bagi saya. Siapa yang menyangka?

Entahlah kalau di kampung halaman saya. Tradisi tersebut masih lestari atau tidak. Semoga saja masih. Jadi, saya masih berkesempatan menikmatinya lagi jikalau mudik dan masih Ramadan.

Wah, wah, wah. Tema "hiburan sahur yang tak biasa" rupanya cukup mengakibatkan baper. Bikin terkenang masa lalu. Maklum sajalah, ya. Sejak tinggal di tengah kota Yogyakarta, saya tak pernah menikmati konser kenthongan lagi.

Jangankan pakai kenthongan. Sekadar mendengar orang keliling kampung sambil memanggil-manggil sahur pun, tidak pernah.

Sebagai gantinya, panggilan untuk sahur dikumandangkan dari pengeras suara masjid/musala. Itu pun cuma satu atau dua kali.

Mengapa begitu, ya? Apa karena saya berdomisili di perkampungan tengah kota? Yang warganya cenderung individualistik?

Perlu Anda ketahui, sebelum menulis artikel ini saya sempatkan cari informasi terkait hal tersebut. Saya berkirim pesan WA ke seorang teman yang tinggal di luar kota. Dia lahir dan mendewasa di kampung tempat domisili saya sekarang.  

Dia bilang, sejak dahulu memang tak ada tradisi membangunkan sahur di situ. Terlebih pakai bunyi-bunyian. Dia menulis begini:

Terlalu ramai. Mungkin karena kita di kota 'kan udah rame.  Tetangga sahur pun terdengar. Klo ngga, dibangunin tetangga.

O, baiklah. Jadi apa yang sekarang saya rasakan, sesungguhnya hanya kelanjutan dari masa lalu. Telah dirasakan duluan oleh teman saya itu.

Sampai di titik itulah saya tersadar akan sesuatu. Selama ini, karena suasana sahur di lingkungan rumah cenderung sepi, jiwa penakut saya menguat.

Kalau bangun sebelum atau sekitar pukul 02.00 WIB, saya langsung menjerang air. Kemudian baca buku, lalu menyeduh kopi ketika air mendidih.

Begitulah adanya. Tanpa saya sadari kapan mulainya, sekarang buku dan kopi adalah duo yang menjadi hiburan sahur bagi saya. Tepatnya hiburan sekaligus sarana "Me Time".

Saya tahu sekali bahwa "hiburan dan Me Time" terbaik pada sepertiga malam terakhir adalah Salat Tahajud. Akan tetapi, saya 'kan tidak berani ambil wudu gara-gara terlalu sepi.

Air yang saya masak pun telah dipersiapkan sejak malam. Jadi, saat bangun sahur tak perlu mengambil dari bagian belakang rumah.

Tempat wudu dan kran air hanya ada di belakang. Berbatasan langsung dengan rumah-rumah kosong. Yang celakanya, saya justru kerap mengimajinasikan hal-hal horor manakala sedang berada di situ.

Jadi berkencan dengan buku dan kopi sampai terdengar azan awal, bukanlah sebuah pilihan buruk. Tetap bisa bermanfaat dunia akhirat. Tentu sejauh dilakukan dengan ikhlas dan niat lillahi ta'ala.

Yeah? Minimal kopi dan buku membuat saya terhibur. Rasa takut saya terhadap dedemit pun sedikit tereduksi karena keduanya.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun