Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.
Beberapa Hal Makruh Saat Puasa: Penjelasan Ulama dan Cara Menyikapinya
Pertanyaan klasik setiap datang Ramadan adalah apa saja hal-hal yang makruh bagi orang yang berpuasa? Jawaban terhadap pertanyaan ini kadang ada yang mengambang karena lebih mendahulukan persepsi penjawabnya bukan berdasarkan penjelasan ulama. Itulah sebabnya, sehingga ada pernyataan batalnya puasa karena bersiwak setelah matahari tergelincir, bahkan dulu waktu kita kecil kadang kita dilarang berkumur-kumur saat berwudhu karena bisa membatalkan puasa.
Ada pula yang menyatakan batalnya puasa mereka yang masih dalam keadaan junub padahal telah memasuki waktu imsyak atau fajar. Kita bahkan dilarang menonton televisi karena dapat membatalkan puasa. Pada kesempatan ini penulis mencoba menyajikan beberapa penjelasan ulama berdasarkan dalil-dalil, baik dari Al-Qur'an maupun Hadis.
Makruh Bersiwak Jika Matahari Telah Tergelincir
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam Fiqih Imam Syafi'i Jilid I menjelaskan bahwa bersiwak itu disunahkan di setiap keadaan terutama setiap menjelang salat berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda, "Jika saja tidak memberatkan umatku, aku pasti akan memerintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap (sebelum) shalat."
Berdasarkan hadis di atas, maka ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa bersiwak disunahkan pada setiap waktu (keadaan) kecuali bagi orang berpuasa setelah zawal (tergelincirnya matahari). Bagi orang yang sedang berpuasa, hukum bersiwak setelah tergelincirnya matahari adalah makruh dengan dasar sebuah hadis mutafaq 'alaih yang berbunyi, "Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi."
Maka bagaimana kita menyikapi makruhnya bersiwak setelah matahari tergelincir sekaligus mengamalkan sunah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam (SAW)? Tentu yang terbaik adalah bersiwak sebelum menunaikan salat Subuh sebab ini berarti mengamalkan anjuran Nabi SAW Jika tidak sempat maka bersiwaklah sebelum matahari tergelincir.
Jika kita bersiwak setelahnya, maka tidak berdosa dan tidak membatalkan puasa hanya saja kita kehilangan kesempatan mendapatkan pahala dan mengikuti sunah.
Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke Hidung Saat Berwudhu
Syaikh Sulaiman al-Faifi menuliskan dalam Al-Wajiz fii Fiqhi Sunnah (Ringkasan Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq) bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung saat berwudhu tidak membatalkan puasa. Hanya saja, keduanya makruh bila dilakukan secara berlebih. Laqith bin Shabirah meriwayatkan, "Nabi SAW bersabda, "Lakukanlah dengan sungguh-sungguh bila engkau berintisyaq (memasukkan air ke hidung) kecuali jika engkau sedang berpuasa." Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan.
Ini artinya, berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung saat berwudhu tidak membatalkan puasa dan tidak dihukumi makruh kecuali dilakukan secara berlebihan. Semoga tidak ada lagi anak-anak yang kita larang berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dengan alasan membatalkan puasa. Sampaikan saja ke mereka bahwa makruh jika dilakukan secara berlebihan dan puasa bisa batal jika menelan air dengan sengaja.
Meneruskan Puasa dalam Keadaan Junub
Terkait permasalahan di atas ada yang menyikapi secara berlebihan dengan menyatakan bahwa meneruskan puasa dalam keadaan junub membatalkan puasa. Agar kita tidak salah paham, sebaiknya membaca riwayat yang dituliskan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'in (Panduan Hukum Islam).
Beliau menuliskan sebuah riwayat tentang seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Wahai Rasulullah SAW, waktu salat telah tiba, dan aku dalam keadaan junub, lalu aku terus berpuasa?" Rasulullah menjawab: "Waktu salat telah tiba. Sementara aku dalam keadaan junub, kemudian aku terus berpuasa" Dia berkata: "Engkau tidak sama dengan kami, wahai Rasulullah SAW. Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang". Rasulullah SAW bersabda: "Demi Allah, aku sungguh berharap, aku menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan orang yang paling tahu di antara kalian semua tentang bagaimana caranya bertakwa". (HR. Muslim).
Selanjutnya di dalam kitab Zaadul Ma'ad, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menuliskan bahwa di antara tuntunan Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah memasuki waktu fajar, sementara beliau dalam keadaan junub. Maka beliau mandi setelah waktu fajar dan tetap puasa. Beliau juga pernah memeluk seorang istrinya ketika sedang puasa Ramadan. Pelukan orang yang puasa ini menyerupai berkumur dengan air.
Hukum Memeluk dan Mencium Istri
Perihal hukum mencium istri kita juga dapat membaca salah satu riwayat yang ditulis oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'in. beliau menulis bahwa Umar bin Abi Salamah bertanya kepada Rasulullah SAW: "Bolehkah orang yang berpuasa itu mencium istrinya?" Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: "Tanyakan hal ini kepada Ummi Salamah".
Kemudian Ummi Salamah memberi kabar padanya bahwa Rasulullah SAW pernah melakukannya. Berkata Umar bin Abi Salamah: "Wahai Rasulullah SAW, sungguh Allah telah mengampuni dari dosa di masa lalu dan dosa yang akan datang". Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya akulah orang yang paling takwa di antara kalian, dan orang yang paling takut kepada Allah" (HR. Muslim).
Meski demikian, bagi pengantin baru atau yang masih tergolong pengantin muda maka disarankan tidak mencium istrinya di saat berpuasa, sebagaimana riwayat dari Imam Ahmad yang juga dituliskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh seorang pemuda: "Bolehkah aku mencium istriku sedang aku sedang berpuasa?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak". Dan Rasulullah SAW ditanya oleh seorang tua: "Bolehkah aku mencium istriku sedang aku sedang berpuasa?" Rasulullah SAW menjawab: "Boleh". Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi: "Karena orang tua sudah mampu menguasai nafsunya".
Mempertegas perihal mencium istri saat berpuasa, ada riwayat yang dituliskan oleh Syaikh Sulaiman al-Faifi dalam Al-Wajiz fi Fiqhi Sunnah. Beliau menuliskan sebuah hadis sahih dari 'Aisyah ra yang meriwayatkan, "Nabi SAW mencium dan menyentuhku padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri." Hadis ini diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih.
Jika demikian, manakah yang terbaik melakukan kebiasaan mencium istri atau tidak melakukan? Maka nasihat mazhab Hanafi dan Syafi'i yang juga dituliskan dalam Al-Wajiz fii Fiqhi Sunnah dapat kita jadikan pertimbangan. Ulama dari mazhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat bahwa ciuman makruh bila dapat membangkitkan syahwat seseorang. Namun bila tidak, maka ia tidak makruh. Akan tetapi, lebih baik ditinggalkan.
Bagaimana dengan Menonton Televisi?
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar menuliskan dalam Fiqh Al-'Ibadat, Fadhilatu Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin bahwa apabila yang ditonton dan didengar merupakan hal-hal yang diperbolehkan, maka tidak ada masalah dan tidak mengurangi nilai puasa. Akan tetapi, selayaknya orang yang berpuasa menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan melaksanakan salat, membaca Al-Qur'an, zikir, dan lain sebagainya.
Sedangkan menonton hal-hal yang diharamkan atau mendengar hal-hal yang diharamkan, maka tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut berpengaruh terhadap puasa dan mengurangi nilainya, karena hikmah puasa ialah takwa kepada Allah SWT sebagaimana firman Allah berikut: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah (2): 183).
Allah menjelaskan bahwa hikmah diwajibkannya puasa ialah takwa. Di samping itu Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, melakukannya, dan berbuat kebodohan, maka Allah tidak berhajat terhadap perbuatannya yang meninggalkan makan dan minum." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Ash-Shaum).
Dengan demikian, segala kemaksiatan yang dilakukan oleh orang yang berpuasa berpengaruh pada puasanya. Di antaranya ialah yang dilakukan oleh sebagian orang yang berpuasa dalam arti tidak makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri, tetapi ia larut dalam kemaksiatan kepada Allah. Anda jumpai salah satu di antara mereka jika telah selesai makan sahur, ia tidur lagi sehingga ia meninggalkan shalat Subuh. Ia baru bangun setelah matahari terbit. Sebagian lagi tidur sore sehingga meninggalkan shalat Asar. Ia baru bangun setelah waktu berbuka puasa. Jadi, ia melewatkan empat waktu salat dengan berzikir hanya sebentar. Sebagian lain melakukan kedustaan dan menggunjing orang lain, menipu ketika melakukan jual beli, dan melakukan keharaman-keharaman padahal ia sedang berpuasa. Tidak diragukan lagi bahwa semua perbuatan haram ini dapat mengurangi nilai puasa. Bahkan, terkadang antara dosa dan pahalanya seimbang. Maka, ia berbuat dosa dari pahala puasanya.
Oleh karena itu, Dr. Abdullah bin Muhammad berpesan kepada saudara-saudara sesama muslim agar senantiasa menjaga puasa dari melakukan hal-hal yang diharamkan Allah, baik ucapan atau perbuatan. Hendaknya mereka mengonsentrasikan diri dalam bulan yang penuh berkah ini untuk melakukan ketaatan kepada Allah 'azza wajalla. Karena dengan ini, mereka akan memperoleh pendidikan yang agung dengan membiasakan diri meninggalkan hal-hal yang haram dan melaksanakan kewajiban. Allah Maha Pemberi Taufik.