Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.
Ramadan yang Nestapa di Palestina, Masih Tersisakah Doa untuk Mereka?
Sebagaimana banyak kita duga bahwa warga Gaza tidak akan menikmati indahnya Ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak awal Ramadan saya telah bermaksud menulis betapa menderitanya mereka di bulan penuh berkah ini. Mereka tak lagi aman melangkahkan kakinya ke masjid untuk menikmati khusyunya salat malam, anak-anak tak lagi ceria menikmati kebersamaan bersama teman sebayanya sebagaimana dinikmati oleh anak-anak di Indonesia. Meski demikian, niat menulis tentang Ramadan di Gaza baru semakin kuat setelah melihat video Kompas.com (24/3/2024) berjudul sampul Nestapa Ramadan di Jalur Gaza.
Salat Tarawih di Reruntuhan Masjid
Berbeda dengan kita di Indonesia yang dapat menunaikan salat Tarawih di masjid yang utuh, bahkan terkadang cukup megah dengan suasana sejuk karena berpendingin udara. Warga Gaza hanya dapat menunaikan salat Tarawih di atas reruntuhan masjid yang porak-poranda akibat agresi Israel. Keadaan semakin memprihatinkan, sebab mereka salat dalam keadaan tanpa listrik dan lampu. Hal itu tampak misalnya di masjid Al-Farouk.
Belum lagi kesedihan mereka yang mendapati Ramadan tanpa keluarga yang utuh karena menjadi korban agresi, bahkan mengutip data UNICEF telah ada 17.000 anak-anak yang menjadi yatim-piatu setelah kehilangan orang tua mereka. Selain kehilangan keluarga, warga Gaza juga kehilangan tempat tinggal mereka. Relawan MER-C di Gaza, Fikri Rofiul Haq yang diwawancarai di Kompas Petang (17/3/2024) mengungkap data bahwa sebanyak 70.000 rumah hancur secara total dan 290.000 rumah mengalami kerusakan.
Hal ini menyebabkan mereka kini menempati kamp pengungsi terutama di Rafah, Gaza Selatan. Jumlahnya bahkan mencapai 1,4 juta jiwa. Adapun masjid yang telah mengalami kerusakan dan tidak layak pakai sebanyak 1.000 masjid dari total 1.200 masjid di Gaza. Hal ini menyebabkan mereka memilih menggunakan halaman-halaman masjid atau sekolah dalam keadaan minim penerangan dan pengeras suara.
Stok Makanan untuk Sahur dan Berbuka yang Terbatas
Hal ini pun pasti sudah kita prediksi sebelum masuk Ramadan. Ini pun tidak luput dari pantauan Kompas.com, bagaimana stok makanan yang terbatas itu masih harus diperebutkan. Hal ini disebabkan pengiriman bantuan ke Gaza mengalami beberapa kendala terutama blokade yang dilakukan Israel di perbatasan Rafah, antara Mesir dan Palestina (Kompas Petang, 17/3/2024). Akibatnya pengiriman bantuan dilakukan baik dari udara maupun dari laut. Itulah sebabnya Sekjen PBB, Antonio Gutteres meminta penghapusan semua kendala pengiriman bantuan.
Sebagian besar stok makanan berbentuk kemasan kaleng dan tergolong mahal bagi rakyat Palestina. Kesulitan mendapatkan bahan pokok, masih harus diperparah dengan sulitnya mendapatkan air bersih.
Bukan hanya warga, para staf medis juga merasakan pedihnya kehidupan di Ramadhan tahun ini. Terdapat 2.000 staf media di Gaza Utara yang diberitakan tidak mendapatkan jatah menu sahur dan berbuka di hari pertama Ramadhan. Meski demikian, mereka masih bekerja sepanjang waktu untuk bekerja dan merawat pasien. Juru bicara kesehatan Gaza menghimbau agar lembaga-lembaga berwenang segera memasok bantuan, sebab jika tidak kelaparan mengancam warga Gaza Utara dan staf medis bisa saja tewas karena kelaparan.
Relawan MER-C di Gaza, Fikri Rofiul Haq yang diwawancarai di Kompas Petang (17/3/2024) mengungkap bahwa telah terjadi kelaparan yang dahsyat di Jalur Gaza bahkan telah ada 27 orang yang meninggal akibat malnutrisi dan dehidrasi mengutip data dari Kementerian Kesehatan Palestina. 25 di antaranya adalah anak-anak yang dirawat di rumah sakit di Gaza Utara.