Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mahasiswa

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Tradisi Buka Puasa Bersama di Bulan Ramadan 1445 H: Dari Sejarah hingga Maknanya di Era Modern

19 Maret 2024   12:16 Diperbarui: 19 Maret 2024   12:34 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Buka Puasa Bersama di Bulan Ramadan 1445 H: Dari Sejarah hingga Maknanya di Era Modern
Pinterest.com/riskasadilaayu77 

Dengan demikian, tradisi bukber bukan hanya sekadar kegiatan makan bersama, tetapi juga memiliki dampak yang positif dalam mempererat hubungan sosial, memperkuat nilai-nilai keagamaan, serta memupuk rasa solidaritas dan toleransi di dalam masyarakat.

Tantangan Tradisi Bukber di Era Modern 

Pinterest.com/coke_doll 
Pinterest.com/coke_doll 

Di era modern, tradisi buka puasa bersama (bukber) juga dihadapkan pada beberapa tantangan yang perlu diatasi, antara lain:

1. Adanya budaya materialisme dan hedonisme: Dalam masyarakat modern, budaya materialisme yang semakin merajalela menjadi tantangan yang signifikan dalam mempertahankan esensi dan nilai-nilai tradisi buka puasa bersama (bukber). Budaya materialisme ini ditandai dengan orientasi yang berlebihan terhadap kepemilikan barang-barang materi dan pencarian kesenangan duniawi, yang seringkali mengaburkan makna sejati dari tradisi bukber. Dalam konteks bukber, terdapat kecenderungan di mana peserta lebih memperhatikan aspek material seperti makanan yang disajikan, tempat yang mewah, atau peralatan yang digunakan, daripada fokus pada aspek spiritual dan kebersamaan yang seharusnya menjadi inti dari tradisi tersebut. Hal ini dapat mengurangi kedalaman pengalaman spiritual dan sosial yang seharusnya dirasakan selama bukber, serta menggeser perhatian dari nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan empati.

Selain itu, budaya hedonisme yang mengutamakan pencarian kesenangan dan kenikmatan duniawi juga dapat mengarahkan peserta bukber untuk lebih mengejar pengalaman sensoris dan hedonistis, seperti mencari makanan lezat atau hiburan yang menghibur, tanpa memperhatikan aspek spiritual dan keagamaan dari bulan Ramadan dan bukber itu sendiri. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi masyarakat untuk kembali memperkuat pemahaman tentang makna sejati dari tradisi bukber, yaitu sebagai waktu untuk memperkuat tali silaturahmi, meningkatkan kesadaran spiritual, dan memperdalam hubungan dengan Allah SWT. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan kesadaran akan nilai-nilai agama, serta pengalaman-pengalaman yang memperkaya makna dari tradisi bukber itu sendiri. Dengan demikian, masyarakat dapat membangun kesadaran yang lebih kuat akan esensi tradisi bukber dan mampu mengatasi godaan budaya materialisme dan hedonisme yang mengancam keberlangsungan tradisi ini.

2. Fenomena "flexing" dan "pamer" di media sosial: Dalam era digital dan kehadiran media sosial yang semakin dominan, terdapat fenomena di mana peserta buka puasa bersama (bukber) cenderung lebih memperhatikan aspek visual dan eksklusivitas acara mereka, daripada memperhatikan makna sejati dari tradisi tersebut. Fenomena ini sering mengarah pada perilaku "flexing" atau "pamer" di media sosial, di mana peserta cenderung menampilkan kemewahan, keistimewaan, atau keunikan acara bukber mereka kepada khalayak luas, tanpa memperhatikan esensi dari kebersamaan dan kerukunan yang seharusnya menjadi fokus utama. Dalam konteks ini, peserta bukber seringkali lebih mengutamakan penampilan visual, seperti dekorasi mewah, hidangan yang menggoda, atau tempat yang eksklusif, untuk memperoleh apresiasi dan pengakuan dari teman-teman atau pengikut mereka di media sosial. Mereka cenderung menampilkan momen-momen terbaik dari acara bukber mereka, yang seringkali dipilih secara selektif untuk menunjukkan kemewahan dan prestise, tanpa memperhatikan nilai-nilai kebersamaan dan kerukunan yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Akibatnya, tradisi bukber seringkali menjadi terdistorsi dan kehilangan makna aslinya sebagai waktu untuk mempererat tali silaturahmi, meningkatkan kesadaran spiritual, dan memperdalam hubungan dengan sesama umat. Peserta bukber yang terlalu fokus pada "flexing" dan "pamer" di media sosial cenderung mengabaikan nilai-nilai keagamaan dan sosial yang seharusnya menjadi landasan dari tradisi tersebut. Dalam mengatasi fenomena ini, penting bagi masyarakat untuk kembali mengingatkan diri akan esensi sejati dari tradisi bukber dan mengutamakan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan empati dalam setiap kegiatan bukber. Dengan memperkuat kesadaran akan makna tradisi ini dan menghindari perilaku "flexing" dan "pamer" yang berlebihan, masyarakat dapat menjaga keaslian dan keberlangsungan tradisi bukber sebagai bagian dari warisan budaya dan spiritual mereka.

3. Kesulitan mengatur waktu di tengah kesibukan: Dalam era modern yang dipenuhi dengan ritme hidup yang padat, banyak individu menghadapi tantangan dalam mengatur waktu untuk berpartisipasi dalam tradisi buka puasa bersama (bukber). Tantangan ini khususnya dirasakan oleh mereka yang memiliki jadwal kerja yang padat atau tinggal di daerah yang jauh dari lokasi tempat acara bukber diadakan. Di tengah kesibukan sehari-hari, terkadang sulit bagi individu untuk menyisihkan waktu tambahan untuk hadir dalam acara bukber, terutama jika itu bertabrakan dengan jadwal kerja mereka yang padat. Selain itu, bagi mereka yang tinggal di daerah yang jauh dari lokasi acara bukber, perjalanan yang diperlukan untuk mencapai tempat tersebut juga menjadi hambatan tambahan dalam menghadiri acara tersebut. Tantangan ini dapat menjadi penghalang bagi individu untuk merasakan manfaat sosial, spiritual, dan kebersamaan dari tradisi bukber. Mereka mungkin merasa terputus dari komunitas atau keluarga mereka, serta kehilangan kesempatan untuk memperkuat tali silaturahmi dan menjalin hubungan sosial yang lebih dalam selama bulan Ramadan.

Dalam mengatasi kesulitan ini, masyarakat dapat mencari solusi alternatif, seperti mengatur jadwal bukber di tempat yang lebih dekat atau mengadakan bukber secara virtual melalui platform online. Selain itu, perusahaan dan organisasi juga dapat mempertimbangkan fleksibilitas jadwal kerja atau menyediakan waktu istirahat khusus selama bulan Ramadan untuk memfasilitasi partisipasi karyawan dalam tradisi bukber. Dengan demikian, dengan kesadaran akan tantangan mengatur waktu di tengah kesibukan, masyarakat dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi yang memungkinkan lebih banyak individu untuk merasakan manfaat dan keberkahan dari tradisi bukber, tanpa harus mengorbankan kewajiban dan komitmen mereka dalam kehidupan sehari-hari.

4. Biaya yang relatif tinggi: Salah satu tantangan yang dihadapi dalam tradisi buka puasa bersama (bukber) adalah biaya yang terkait dengan menyelenggarakan atau berpartisipasi dalam acara tersebut. Biaya ini sering kali dianggap relatif tinggi, terutama jika acara bukber melibatkan restoran atau tempat makan yang menawarkan paket bukber. Hal ini dapat menjadi kendala bagi sebagian masyarakat, khususnya bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial atau memiliki prioritas pengeluaran yang berbeda. Partisipasi dalam bukber di restoran atau tempat makan sering kali memerlukan pengeluaran tambahan untuk membayar biaya makanan dan tempat. Harga paket bukber yang ditawarkan oleh restoran atau tempat makan sering kali cukup tinggi, terutama jika acara tersebut menawarkan menu makanan yang beragam atau fasilitas tambahan lainnya. Hal ini dapat menjadi beban finansial bagi sebagian masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki pendapatan yang terbatas atau prioritas pengeluaran yang berbeda seperti kebutuhan primer lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun