Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.
Ramadan Milik Semua
Berbicara ramadan di Indonesia alias sejak dulu di nusantara. Memiliki keunikan tersendiri.
Negri ini bisa dibilang negri berbudaya. Khususnya fenomena ramadan terkesan jadi tradisi budaya yang tinggi lagi mulia.
Tidak hanya umat Islam, tak jarang bukber alias buka bareng dalam satu meja di bulan ramadan berbeda agama ada kawan yang ingin bukber itu sangat lumrah. Bukan hal aneh di negri ini.
Ramadan, bulan puasa ini akhirnya milik semua. Untuknya momen ini menghantarkan toleransi semakin cair bahkan sangat mengalir.
Rahmat bagi semua, belanja sore dengan istilah ngabuburit sangat marak. Memasyarakat dan semua bebas rela berbelanja tanpa melihat ia muslim atau tidak.
Dalam ragam ramadan. Contoh satu atau dua kasus di atas. Makna ramadan akhirnya begitu universal. Jadi berkah untuk sesama.
Sejatinya puasa?
Puasa tidak lagi berbicara tahan lapar dan haus. Tapi lebih dari sekedar menahan dahaga di rongga.
Refleksi panjang tahun ke tahun menjalani ibadah puasa. Saya melihat satu sisi penting, betapa puasa adalah mengasah empaty.
Lihatlah sekeliling kita, dengan kondisi lapar. Bagaimana saudara-saudara kita yang saban hari menahan lapar tanpa harus menunggu bulan puasa.
Jangankan bicara mereka yang memang marjinal. Coba perhatikan sekitar! bisa jadi ada mahasiswa alias pelajar pas-pasan hanya makan sekali sehari dengan ragam pertimbangan.
Ada mahasiswa yang hanya makan sekali. Mungkin sebagian dananya harus teralokasi membeli buku. Baik penunjang belajar, atau memang ia haus akan beragam ilmu.
Teringat masa-masa kuliah beberapa tahun belakangan. Saya sanggup menaruh hutang di burjo warung makan dan makan sekali saja sehari. Sisanya berselancar mencari buku-buku bareng kawan, di sudut trotoar jalan kami menghisap rokok sisa batangan berdua saat lelah. Apresiasi lelah seadanya
Kenangan ini sebut saja sedih. Mengundang empaty harusnya. Walau saya merasa ini syahdu dan kenangan berharga.
Bisa jadi ada mahasiswa yang lebih parah. Tak makan karena memang tak ada uang sama sekali.
Nah sejatinya puasa adalah "rahim" untuk melahirkan "bayi" kepekaan. Semoga kepekaan kita pada momen bulan ini semakin mendewasa. Semakin peka di tingkat "dewa".
Sekali lagi, puasa itu untuk semua!
Kepekaan tumbuh tidak hanya untuk sesama agama, sesama ras, atau suku dan satu kelompok. Puasa mengajarkan bahwa lapar itu bisa melanda siapa saja.
Menjaga esensi puasa seperti ini mengantarkan kita semua lahir sebagai anak bangsa yang berjiwa empaty besar lagi kuat.
Menghidupakan kepekaan begitu nyata di akhir puasa misal. Menjelang lebaran kita harus zakat.
Zakat jangan samakan dengan bayar pajak. Ia bentuk tindakan sosial tanpa sebuah kewenangan negara. Zakat di bulan puasa adalah tindakan mulia.
Hamka dalam bukunya "Dari Lembah Cita-Cita" mengatakan, zakat adalah bukti persatuan masyarakat dan budi negara yang tidak ada taranya.
Puasa yang bermuara pada zakat adalah budi negara yang tinggi. Saatnya kesadaran agung ini kita talurkan untuk semua. Sejatinya memang rahamat bagi sesama.
Demikianlah. Bahwa ramadan, puasa, dan prahara di dalamnya adalah milik kita. Tetaplah saling menjaga dalam tali persaudaraan sebagai sesama anak bangsa.
Salam.