Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.
Tepi Jurang Permohonan
Tepi Jurang Permohonan
Dua sahabat, Rania dan Arman, terjebak dalam sebuah konflik yang mengguncang persahabatan mereka. Kesalahan sepele yang tak terduga berujung pada perpecahan, dan kini, di tepi jurang, mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit: meminta maaf atau memberi maaf.
Rania dan Arman telah bersahabat sejak kecil. Mereka berbagi rahasia, tertawa, dan saling mendukung satu sama lain. Namun, semua berubah di hari yang cerah ketika Arman tanpa sengaja mengungkapkan sebuah rahasia Rania kepada teman-teman mereka. Rania merasa dikhianati dan, dalam amarahnya, mengucapkan kata-kata tajam yang membuat Arman tertegun, "Kau bukan sahabatku lagi!"
Sejak kejadian itu, Rania menjauh. Meski Arman berusaha meminta maaf secara langsung, ia selalu ditolak. Dalam kerinduan yang dalam, Arman merasa hancur. Ia tahu ia salah, tetapi ego dan rasa malunya menghantuinya. Dalam diam, ia mulai merenungkan apakah benar ia layak mendapatkan pengampunan.
Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar di atas desa, Rania pergi ke tepi jurang yang menjadi tempat favorit mereka. Ia ingat semua kenangan indah. Namun, kesedihan dan kemarahan menyelimuti hatinya. Di sana, Rania menangis, merasa kehilangan sahabat sejatinya. Saat itu, Arman mendekatinya diam-diam, berharap bisa memperbaiki keadaan.
"Mengapa kau tidak bisa memaafkan aku?" Arman bertanya, suaranya bergetar. Rania memandangnya, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh ketegangan. Dia bisa merasakan ketulusan dari Arman, tetapi hatinya masih terasa berat.
"Sekali kau menghancurkan kepercayaanku, Arman. Bagaimana aku bisa mempercayaimu lagi?" balas Rania tajam. Namun, di dalam dirinya, ia merindukan sahabat yang pernah ada. Dalam pikiran Rania, terlintas semua kenangan hangat di antara mereka, tetapi rasa sakit itu terlalu dalam.
Arman melangkah lebih dekat, "Aku tahu. Aku membuat kesalahan besar, dan aku tidak akan memintamu untuk segera memaafkan. Tapi aku ingin kau tahu, aku sangat menyesal." Ia mengeluarkan sebuah kalung persahabatan yang telah rusak, simbol dari hubungan mereka yang sudah retak. "Aku ingin memperbaikinya, bersama-sama. Tapi, aku juga butuh kamu untuk memberi kesempatan."
Rania terdiam, hatinya berkonflik. Dia bisa melanjutkan hidupnya tanpa Arman, atau bisa mengulurkan tangannya untuk memulai kembali segala sesuatunya. "Apa kau benar-benar akan berusaha?" tanya Rania, harapan dan keraguan bercampur.
"Aku akan melakukannya, demi kita," jawab Arman dengan penuh keyakinan.
Dalam momen itu, waktu seakan berhenti. Rania menatap jurang yang dalam di depannya, dan di sisi lain, Arman yang penuh harapan. Keputusan itu berada dalam tangannya.
Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara di kejauhan membuat mereka tertegun: suara langkah kaki yang semakin mendekat. Rania dan Arman menoleh, dan sejuta kemungkinan menghantui pikiran mereka. Mungkin salah satu dari mereka akan terpaksa menghadapi sebuah kenyataan baru, sebuah perubahan yang tidak terduga.
Di tengah ketegangan yang menggantung di udara, Rania tersenyum sinis, "Kita mungkin tidak perlu memikirkan permohonan maaf atau pengampunan. Keputusan ini akan diambil oleh takdir."
***
Cerita ini menyisakan jurang yang dalam, tak hanya di antara Rania dan Arman tetapi juga di hati pembaca. Apakah mereka akan kembali kepada persahabatan mereka? Akankah Arman dan Rania bersama-sama atau salah satu dari mereka akan jatuh ke dalam spasi yang tak terduga? Hanya waktu yang akan menjawab, dan jawaban itu, seperti kalung persahabatan itu, mungkin masih bisa diperbaiki.
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025