Blog : https://alviyatunyudi.blogspot.com/ Pesan : Proses belajar berjalan sepanjang hayat, proses sabar dan ikhlas menerima dan menjalani segala ketentuan Allah dengan ikkhtiyar yang optimal
Malam-Malam Ramadhan yang Mengesankan
Sore itu umat muslim di dusun kami melakukan padusan. Padusan adalah satu kegiatan membersihkan diri atau mandi besar, keramas,membasuh seluruh tubuh dari kepala sampai kaki, yang dilakukan sehari sebelum datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan ini dilakukan di rumah masing-masing. Tetapi ada juga yang pergi ke pantai Parangtritis, menghabiskan waktu di sana sepanjang sore hingga menjelang magrib, untuk selanjutnya juga mandi besar di rumah.
Tradisi padusan/bersuci ini sebenarnya adalah membersihkan diri (bagi wanita dan laki-laki yang sudah baligh) dari hadast besar seperti haid, nifas, keluar mani, berhubungan badan antara suami dan istri hingga mengeluarkan mani. Tradisi ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Pada kenyataannya saat masa kecil dulu, padusan dilakukan oleh semua muslim laki dan perempuan dari anak-anak sampai orangtua, berhadas maupun tidak. Ibu menyuruh untuk mandi keramas sebelum melaksanakan puasa Ramadhan. Jadilah pesan itu ditaati sampai sekarang, meski tidak sedang selesai berhadast.
Keseruan itu berlanjut pada malam harinya, dengan berbondong-bondong ke langgar (semacam surau tapi di salah satu rumah penduduk) untuk melaksanakan sholat isya' dan tarawih. Dengan berbekal oncor sebagai penerang menuju ke langgar. Pada jaman dulu dusun kami belum memiliki masjid seperti sekarang. Salah satu warga yang memiliki emperan besar (ruang depan sebuah rumah) atau semacam pendopo merelakan untuk dipakai sebagai pengganti langgar. Pemilik rumah tersebut mbah Soma namanya, semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya, dan meridhoi amal kebaikannya selama di dunia.
Sedangkan oncor
Saya, adik dan simbok juga mbah putri, melakukan sholat isya' dan tarawih di langgar tersebut. Sedangkan mbah kakung belum mau sholat sehingga tidak berangkat ke langgar. Namanya masih anak-anak, sholatnya tidak bisa khusyuk. Malah setelah sholat isya' bermain-main dengan teman-teman. Kadang-kadang ikut sholat tarawih lagi, kadang berhenti. Kami asyik memainkan kain jarik yang dipakai untuk pengganti mukena. Karena waktu itu belum ada rukuh/mukena untuk anak, tapi tetap pingin sholat. Karena salah satu syarat sahnya sholat adalah menutup aurat, jadilah kain jariknya simbah dipakai untuk mukena. Walaupun tidak bisa menutup aurat secara sempurna karena ujung tangan dan kaki masih suka kelihatan,juga kain tersebut amat ketat membungkus tubuh. Tetapi kami anak-anak perempuan dengan nyaman memakainya.
Apakah mereka tidak mengenakan hijab? Jawabnya tidak. Kaum perempuan di dusun kami waktu itu menutup aurat hanya saat sholat saja. Belum ada ustadz/ustadzah yang memberikan penjelasan atau pengetahuan tentang hijab. Padahal perintah Allah untuk menutup aurat telah tertulis dalam Alqur'an jauh sebelum simbah saya lahir. Betul kan? Bisa dibilang masa itu adalah masa jahiliyahnya kami. Karena untuk sholat saja masih sangat sulit, sehingga urusan berhijab jadi terabaikan.
Kembali ke langgar lagi ya, karena ada keseruan lain yang dinantikan anak-anak. Seusai jamaah melaksanakan sholat tarawih sebanyak 23 rokaat, kecuali anak-anak yang sukanya mengikut sholat witirnya saja, ada pembagian makanan ringan dan dinamakan jaburan.
Pada malam-malam selanjutnya bentuk makanannya sangat sederhana tapi menyenangkan, karena sambil diisi guyonan atau pengajian ringan. Ada lempeng (semacam kerupuk dengan bahan baku nasi), roti kolmbeng, kacang goreng, dan lainnya. Setiap malam satu macam makanan yang murah meriah.
Setelah selesai jaburan, kami pulang dengan menyalakan kembali oncor masing-masing. Oncor/obor ini terbuat dari potongan bambu yang di dalamnya diisi minyak tanah, dengan sumbu dari serat kulit buah kelapa (sepet). Oncor ini menjadi penerangan utama di luar rumah saat malam hari yang gelap gulita karena masih jauhnya cahaya listrik dari dusun kami.