Amidi
Amidi Dosen

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Memanfaatkan Momentum Ramadhan untuk Mengikis Tindakan Mubazir agar Tidak Merugi

24 Maret 2023   06:33 Diperbarui: 24 Maret 2023   09:30 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memanfaatkan Momentum Ramadhan untuk Mengikis Tindakan Mubazir agar Tidak Merugi
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Untuk memperindah sebutan bulan yang satu ini,  setidaknya ada beberapa  sebutan yang dapat dikemukakan, Bulan Ramadhan disebut juga bulan kasih sayang (rahmat), bulan pengampunan (maghfirah), bulan penuh keberkahan (berkah), bulan kemenangan (falah), dan bulan pembelajaran (tarbiyah).   Secara rinci dapat dilihat dalam detik.com/khazanah, 16 Maret 2023).

Pada kesempatan ini tidak berlebihan kalau saya  katakan juga bahwa Ramadhan sebagai bulan anak negeri ini untuk "memproduksi pahala yang sebanyak-banyaknya". Kemudian, berbagai  kesempatan baik yang dapat kita manfaatkan, termasuk momentum untuk mengikis tindakan pemborosan (mubazir)  yang menyebabkan hilangnya senilai uang bila kita konpersikan dengan nilai keekonomian-nya.

Sadar atau tidak, terkadang kita "seenaknya" bertindak mubazir.  Untuk itu persoalan yang satu ini perlu diangkat, karena  secara ekonomi ia akan menimbulkan "opportunity cost" yang tidak kecil. Menurut pengamatan saya, setidaknya ada beberapa tindakan  mubazir tersebut, antara lain, mubazir dalam makanan-minuman, mubazir dalam perkataan, mubazir dalam tindakan, mubazir dalam ibadah sendiri, dan masih ada lagi tindakan mubazir lainnya.

 Mubazir dalam makan-minum.

Kebiasaan mubazir dalam hal makan-minum yang cendrung menimbulkan ekses negatif dikalangan anak  negeri ini sepertinya sudah merupakan hal lumrah,  terutama disepanjang dan atau selama bulan Ramadhan ini.

Hal ini sangat memungkinkan, karena tidak sedikit dari kalangan anak di negeri ini yang sedang menjalankan ibadah puasa lebih mengedepankan dan mengikuti "hawa nafsu", dalam rangka memenuhi kebutuhan akan makanan untuk berbuka, mereka biasanya menyediakan berbagai jenis makanan, namun pada saat berbuka makanan tersebut tidak semua dikonsumsi, sehingga  mubazir.

Tidak heran, jika kita temukan sisa makanan dalam tumpukan sampah, dan ternyata  sampah makanan mendominasi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2020 (pikiran Rakyat.com, 19 April 2021) bahwa setiap orang di negeri ini  aktif menyumbang  sampah sebanyak 0,68 kg setiap harinya. Dari total tersebut   sampah makanan merupakan komposisi sampah yang paling banyak ditemukan, yakni sebanyak 30,8 persen. (lebih lengkap tentang hal ini lihat Amidi dalam kompasiana.com, 29 April 2022) 

Mubazir dalam perkataan.

Memang secara budaya, anak negeri ini terkenal dengan budaya santun, dan ramah. Namun, tidak harus dilakoni dalam hal  tindakan mubazir. Mungkin tanpa kita sadari bahwa selama ini pada saat kita bicara didepan publi ,dalam rangka memberikan sambutan atau membuka acara, baik  acara resmi maupun acara lainnya..

Dalam kata sambutan tersebut, biasanya kita mendahulukan  ucapan penghormatan, sebagaimana lazimnya dalam berpidato. Namun, sayang ucapan penghornatan itu terkadang mubazir, hampir myoritas  "hadirin"  yang hadir kita sebut  untuk memberi penghormatan kepada mereka, bahkan terkadang kalau kata sambutan itu dibuat diatas kertas,  hampir satu lembar berisi kata penghormatan. Bayangkan jika acara tersebut menghadirkan petinggi-petinggi negeri ini, maka mulai dari pimpinan tertinggi kita sebut. Sebaliknya, begitu juga ditingkat daerah,  sama. Misalnya; Yang saya hormati Bapak Gubernur, Yang saya hormati Bapak Wali Kota, dan seterusnya sampai Yang saya hormati  bapak/ibu yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu. Kemudian tindakan mubazir  itu intensitasnya akan semakin tinggi, bila dalam memberi penghormatan tersebut kita lengkapi dengan menyebut, jabatan,  gelar dan atau status yang mereka sandang.

Padahal, bila kita  menghadiri acara yang serupa di luar negeri  atau acara serupa di negeri ini, tetapi dalam sekala internasional, mereka yang memberi sambutan atau membuka acara tersebut, hanya menyebut penghormatan  dengan sebutan; "ladies and jentleman", setelah itu  langsung pada inti pembicaraan atau langsung berpidato, efisien-kan!

Dari perbedaan nuansa kata sambutan tersebut,  dari  segi waktu, sudah terjadi pemborosan (mubazir), belum lagi dari  konten dalam kata sambutan atau pidato yang akan disampaikan tersebut, kadang-kadang terlalu panjang dan lama, sehingga menghilangkan substansi-nya. 

Mubazir  yang demikian dapat kita jumpai pula pada saat anak negeri ini memberi kata sambutan dalam acara pesta atau resepsi. Di Palembang, dalam acara resepsi itu biasanya ada kata sambutan mewakili keluarga atau pihak mempelai. Nah, biasa-nya orang yang  mewakili untuk memberikan kata sambutan itu (maaf bukan menggurui) terkadang tidak paham apa yang akan disampaikan sehingga "ngalor-ngiduli", padahal ia hanya diminta untuk menyampaikan maksud dari keluarga mempelai itu  saja. Misalnya' ucapan terima kasih hadirin telah hadir, mohon doa  restu kepada hadirin untuk kedua mempelai, dan mohon maaf kepada hadirin kalau ada kekurangan dalam pelaksanaan acara tersebut.

Belum lagi tindakan mubazir  kita dalam perkataan lainnya. Sepertinya  dalam kehidupan, dan atau dalam keseharian kita, kita sering melontarkan kata atau tulisan yang kurang bermanfaat. Misalnya; perkataan yang menggunjing (ghibah), perkataan yang justru menilbulkan kebencian dan atau "hoak" dan perkataan lain yang tidak perlu diucapkan, karena akan mubazir  yang akan menimbulkan hilangnya  nilai keekonomian-nya.                                             

Mubazir dalam Tindakan.

Mubazir  yang ini juga sering kita lakukan dalam tindakan, mungkin kita beranggapan bahwa tindakan kita tersebut akan menilbulkan kebaikan, tetapi karena sikap  kita yang tidak jentleman, justru  mubazir.

Akhir-kahir ini kita sibuk dengan tindakan untuk memberantas kejahatan ekonomi (baca:korupsi), sehingga kita berlomba-lomba mengangkat persoalan yang satu ini. Namun, apa "nanya" karena tindakan kita tersebut tidak tuntas justru menjadi mubazir. 

Sebaiknya hindari suatu tindakan yang tidak tuntas yang akan menyebabkan mubazir, karena tindakan kita yang tidak tuntas tersebut akan  menimbulkan "kegaduhan",  "keresahan" dan "instabilitas", sebaiknya (maaf) lakukan saja tindakan  tersebut sampai tuntas dan sampai ke akar-akar-nya. Jika tidak, lebih baik ditunda  jangan di-ekspos terlebih dahulu.

Mubazir dalam   ibadah.

Kemudian satu lagi,  terkadang kita melakukan tindakan mubazir jtru usdalam ber-ibadah itu sendiri. Saya mohon maaf, bukan karena ibadah saya sudah sempurna, tetapi ini hanya untuk saling mengingatkan saja. Misalnya saja dalam hal ibadah Ramadhan. Bila kita runut kita sudah melakukan ibadah puasa ini puluhan tahun, sayang jika mubazir. Misalnya saja kita menjalankan ibadah puasa sejak usia  17 tahun dan bila saat ini  usia kita sudah  50 tahun, berarti  sudah 33 tahun kita melakukan ibadah puasa tersebut.

Sayang, kalau ibadah puasa kita mubazir, tidak bernilai dimata Allah SWT, karena dalam menjalankan ibadah puasa  kita tak henti-hentinya "memproduksi dosa", sehingga  membuat ibadah puasa kita kurang sempurna bahkan mungkin tidak bernilai atau tidak diterima sebagai ibadah.

Kemudian sudah dua (2) malam ini kita menjalankan solat tarawih sebagai rangkaian ibadah puasa, biasanya ada sebagian pengurus masjid yang menyajikan ceramah/tausiyah sebelum solat tarawih dimulai. Nah, untuk pelaksanaan-nya tersebut terkadang kita bertindak dalam katagori "mubazir", yang  saya istilahkan "mubazir ringan", (mohon maaf) terkadang ceramah/tausiyah kita  topiknya tidak jelas, sehingga terkesan "ngalor ngidul". Saran saya, sebaiknya tentukan topik dan paparkan dengan  singkat agar ceramah/tausiyah kita membuat jamaah lebih khusuk dan semangat dalam melaksanakan solat tarawih,bukan justru sebaliknya.

Saya mengajak,  mari kita intropeksi diri, "muhazabah", mari kita hijrah untuk mengikis tindakan mubazir yang sering kita lakukan tersebut, dengan merubahnya menjadi tindakan  yang senantiasa bernilai baik, secara keekonomian bermanfaat,  dan bermakna. Semoga momentum Ramadhan kali ini benar-benar dapat mengangkat derajat kemanusiaan kita  dan pada akhirnya Ramadhan ini benar-benar  menggiring kita menjadi manusia yang "fitrih". Semoga!!!!!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun