Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng
Kisah si Wahab, Pria Peraih Lailatul Qadar
"Haab, Wahaaab, buka pintunya Haaab!"
"Wahab Tajudiin, nanti Bapak temani kamu syuting, bisa pakai teras rumah Bapak..."
"Wahab, kamu mau cukuran dulu sama Cak Nardi?"
Suara warga kampung Sukaheboh silih berganti terdengar di balik pintu rumah Wahab. Sesekali ada teriakan penjual arbanat dan cilok kanji yang bersahutan di tengah keriuhan itu. Seolah tak peduli sedang bulan Ramadan. Begitu pula dengan dentuman tangan menghantam pintu kayu, berusaha membangunkan si punya rumah.
Namun butuh waktu lebih lama bagi suara-suara itu menembus telinga Wahab. Di kamarnya, pemuda berambut gondrong yang gagal dicukur mullet itu masih meringkuk. Tepat di sebelah kakinya ada si gendut Gembul, kucing jantan yang sudah kehilangan organ testisnya, ikut tertidur seperti biasanya.
Suara gedoran di pintu makin tak sabar, diikuti dengan teriakan memanggil namanya silih berganti. Ada laki-laki dan perempuan, ada anak kecil hingga orangtua, berusaha membangunkan putra tunggal mendiang pasangan juragan kos-kosan dan kontrakan itu.
"Minggir semua, kalau pakai ini dia nggak bangun, berarti dia udah pasti meninggal,"
Suara Mustofa, takmir masjid kebanggaan kampung yang katanya pernah foto selfie bareng almarhum Zainuddin MZ menggelegar. Dia datang tergopoh-gopoh membawa toa mendekati rumah Wahab, menembus lautan manusia.
"WAHAB TAJUDDIIN, BUKAAA PINTUNYAAAAAA!"
Mustahil jika tidak mendengar. Wahab langsung terduduk tegak bersamaan dengan Gembul yang meloncat menghantam dada kurusnya.
***
"Hah? Tadi Bapak bilang apa?"
Mata Wahab mengerjap menatap Pak Ipin tak percaya. Ketua RT 03 yang sudah menjabat tiga periode karena ngaku adik tirinya sepupu jauh istri kakak kedua Walikota Malang itu terlihat tak sabar.
"Live di siaran berita nanti malam, Hab. Besok ada koran lokal yang mau wawancara juga, saya yang ngatur semuanya, udah kamu terima jadi aja,"
Wahab menggeleng keras, sudah 30 menit terakhir ini dia berusaha mencerna apa yang dilihat dan didengarnya.
Ada lebih dari 50 orang masuk menyesaki ruang tamu dan teras rumahnya. Bahkan di halaman rumah jauh lebih banyak lagi. Wahab bahkan bersumpah melihat beberapa penjual telur gulung sampai susu murni nasional di antaranya.
"Bukan. Tapi kenapa saya harus wawancara?"
Pertanyaan yang sudah dilontarkan Wahab sebanyak sepuluh kali itu membuat warga bergumam lelah. Mereka tampak bicara sendiri dan mendengung, Wahab menatapnya makin bingung.
"Hab, apa susahnya sih wawancara TV. Siapa tahu nantti kamu masuk Mata Najwa. Nanti syutingnya di masjid ya. Nanti saya pasang spanduk permintaan donasi pembangunan biar dilapisi marmer temboknya,"
"Pak Mustofa gimana sih, kan saya yang mau ajak Wahab syuting di kebun. Itu kebun Toga saya sama Ibu PKK lagi ada program kampanye zero waste,"
"Ibu Sri, kan udah sepakat nanti semua wawancara Wahab di teras rumah saya. Saya udah bilang ke keluarga besar, lho!"
Wahab semakin pusing karena orang-orang tua ini memperebutkan sesuatu pada dirinya yang dia sendiri tidak paham. Wahab melirik jam dinding rumahnya, pukul setengah empat sore dan baru sadar kalau dia belum sholat Ashar.
Wahab menatap ruang tamunya yang semakin dipenuhi orang dan berdebat sendiri. Dia melirik Gembul di lantai dua yang tampak ketakutan.
"Sebentar, sebentar, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Tunggu biar saya bicara, tunggu, sebentar, BIARKAN SAYA BICARA!"
Suara Wahab meninggi, membuat orang-orang menatapnya kaget. Suasana langsung hening, kecuali hentakan lato-lato dari Farhan di pojok ruangan. Wahab menatapnya, membuat Farhan memegang kedua biji lato-lato itu agar diam.
Ipin berdeham. Terlihat sekali ingin memamerkan statusnya sebagai Ketua RT 03, perwakilan warga kampung meskipun seringkali absen kerja bakti dengan alasan diare.
"Saya tidak mendapat malam Lailatul Qadar,"
Mulut Ipin yang terbuka hendak bicara langsung menutup. Dia melirik Wahab kaget. Sementara puluhan warga lain saling berbisik dan mendengung.
"Lho, tapi kamu bilang ke aku habis sahur tadi kalau semalam kamu dapet Lailatul! Masih ada bukti WhatsApp-nya lho, Hab!", suara Nahrul tak kalah tinggi. Dia mengeluarkan HP dan menyodorkan pada Ipin, Mustofa, Cak Nardi, serta Sri bergantian.
Wahab tampak menggeleng sambil menahan tawa geli.
"Nahrul, Nahrul, kamu pasti sahur pake Indomie, kan? Pasti nggak fokus waktu aku cerita. Maksudnya Lailatul itu bukan Malam Seribu Bulan, tapi itu si Laila, anaknya Haji Jafar!"
Dengungan warga semakin ramai, heboh dan bingung. Nahrul tampak shock, terdiam saat warga lain mengerubunginya.
"Jadi, maksudnya dapet Lailatul itu si Laila? Keponakan saya?"
"Kamu nggak dapat Malam Seribu Bulan beneran? Tapi wajah kamu bercahaya,"
"Terus, gimanaa dengan jadwal wawancara? Saya udah hubungi lima media, lho,"
Wahab mengangkat bahunya dan berdiri. Di seberangnya Nahrul terlihat pucat pasi seperti warna tahu.
"Makanya, jangan gampang kemakan hoax,"
Wahab menahan tawa. Dia akan menggodai Nahrul dengan ulahnya pagi ini untuk seumur hidup.