Tiga Berkah Ramadhan yang Tidak Disadari Saat Ini
Awal tahun 60an hingga pertengahan 70an, setiap awal hingga akhir puasa Ramadhan selalu ramai dengan suara petasan. Biasanya suara ledakan petasan mulai terdengar setelah subuh hingga menjelang siang. Sore hari sebelum buka mulai terdengar lagi hingga buka puasa. Berhenti sejenak lalu lanjut setelah sholat tarawih.
Tengah malam mulai sepi lalu lanjut setelah subuh. Demikian keramaian suara ledakan petasan sepanjang bulan puasa selalu terdengar. Apalagi pada jaman itu saat puasa Ramadhan sekolah selalu libur sebulan penuh.
Petasan atau mercon yang diledakkan mulai dari mercon lombok, mercon sreng, mercon bantingan, mercon gedhe, dan mercon bumbung.
Mercon lombok disebut demikian karena berwarna merah dan bentuknya kecil seperti cabai rawit tapi punya daya ledak tinggi dan suaranya melengking tajam. Konon mercon lombok didatangkan dari RRT.
Mercon sreng seperti kembang api melesat ke udara dan pada ketinggian tertentu meledak.
Mercon bantingan terbuat dari campuran bubuk mesiu dan kerikil yang dibungkus dengan kertas grenjeng atau kertas bungkus batang rokok. Mercon tidak diledakkan dengan menyulut sumbunya dengan api tetapi dengan cara dilemparkan atau dibanting. Akibat benturan kerikil dan mesiu yang menimbulkan panas maka meledaklah mercon bantingan. Jadi mirip geranat.
Mercon gedhe seperti petasan biasa tetapi ukurannya sebesar gelas atau mug minum bahkan ada pula seukuran rantang.
Mercon bumbung adalah meriam bambu yang bahan utamanya karbit atau minyak tanah.
Keramaian mercon atau petasan mulai surut seiring kesadaran masyarakat bahwa hal itu merupakan sia-sia dan banyak membawa korban jiwa dan harta. Termasuk juga yang menderita luka dan cacat seumur hidup akibat ledakan petasan.
Pertengahan 70 hingga 80an suara ledakan petasan hanya ramai menjelang dan akhir puasa. Namun tidak hilang sama sekali terutama mercon sreng dan mulai marak kembang api termasuk kembang kates semacam kembang api tetapi meletik selain menetes seperti alumunium terbakar.
Upaya pemerintah untuk mencegah korban dengan melarang pembuatan dan penjualan serta razia petasan sedikit demi sedikit membuahkan hasil.
Saat ini hiruk pikuk keramaian menyulut petasan sudah sangat berkurang jauh. Bahkan sekedar menyalakan kembang api.
Inilah berkah pertama yang didapat tanpa kita sadari. Hilangnya keramaian suara petasan yang tidak berguna sama sekali.
Sebelum tahun 90an kegiatan berbagi ta'jil belum banyak dilakukan. Sebab kesejahteraan masyarakat secara umum belum merata. Bukan karena pelit atau enggan.
Berkah ketiga baru marak sekitar sepuluh tahun terakhir, yakni penjualan ta'jil di tempat umum terutama di pinggir jalan atau tempat lapang atau di depan rumah sendiri.
Pelakunya dari perseorangan, ada pula komunitas seperti kelompok dasa wisma PKK, bahkan kelompok pengajian.
Ada yang berjualan di lapak sederhana dengan meja kecil, atau obrok sepeda motor. Ada yang berjualan dengan mobil pickup, ada juga yang memakai minibus, bahkan ada juga yang menggunakan SUV.
Ini menunjukkan bahwa yang berjualan dari berbagai kelas ekonomi masyarakat.
Menu yang ditawarkan juga beraneka ragam, mulai dari krupuk terasi, krupuk puli hingga krupuk udang. Dari pepesan teri, pindang lemuru, hingga tongkol. Dari crispy ceker hingga sayap ayam.
Dari goreng welut, lele, hingga mujair dan kakap. Dari buah segar, jus buah, hingga salad buah. Dari sayur asem, lodeh, kare, hingga urap-urap.
Banyak pilihan. Tergantung selera dan kantong.
Bukankah ini semua berkah puasa Ramadhan yang tidak kita sadari dari Allah SWT lewat tangan-tangan sesama?
#oleh-oleh gowes sore hari tadi.