Menikmati Mudik Lalu dan Kini
Mudik. Ritinitas tahunan membudaya menghancurkan tembok pemisah sosial orang kota dan orang desa. Kesatuan terbentuk dalam ikatan silaturahmi. Kereta-kereta menuju desa penuh sesak dengan harapan dan kebersamaan.
Mudik adalah sebuah peristiwa istimewa. Ajang mempertemukan kenangan, buah perjuangan dan kebersamaan yang tersusun begitu rapi dalam rangkaian peristiwa tahunan menjelang hari besar. Ribuan masyarakat desa menunggu saudara, anak, istri, orang tua, untuk berbondong-bondong menuju tempat kelahiran. Mudik menyatukan rindu yang terpisah jarak.
Rutinitas Masa Itu
Setiap tahun rutinitas ini berulang, meski butuh perjuangan. Saat itu, 1992, nasib transportasi umum tak pernah terpikirkan, tak pernah diperbaiki seperti sekarang. Angkutan antarkota semrawut, penjualan tiket melalui calo sudah biasa. Bahkan, tiket tidak ada jika tidak membeli melalui calo. Kondisi perkeretaapian tak lepas dari situasi ini. Maka, menjelang perayaan besar, selalu saja banyak orang mengambil untung besar.
Masih jelas teringat bagaimana untuk mendapatkan tiket kereta Pasar Senen-Semarang menjelang Hari Raya Lebaran. Satu bulan sebelumnya harus memesan dalam sekejap sudah habis. Satu-satunya cara untuk mendapat tiket, ya, lewat calo. Calo berkeliaran, menawarkan tiket lebaran, padahal di sebelah loket yang sudah habis terjual untuk tanggal keberangkatan tertentu.
Tiket pun didapat dengan harga dua ratus persen dari harga normal. Tapi tidak apa, yang penting bisa pulang saat hari raya. Pulang harus diperjuangkan.
Saat hari keberangkatan tiba, belum selesai perjuangan dan harus berulang. Ketika jadwal keberangkatan pukul enam sore, antrean untuk masuk kereta sudah terjadi sejak pagi hari. Ketika siang hari sampai di stasiun dan kita baru masuk, sungguh malang nasib terjadi. Masuk kereta begitu sulit, berebutan pun terjadi. Bukan lagi berebut tempat duduk tetapi berebut tempat yang bisa buat duduk. Lorong kereta, depan toliet atau sambungan kereta menjadi tempat paling nyaman untuk mendudukkan tubuh. Itu pun jika masih kosong. Kita tinggal duduk dan menunggu kereta berangkat.
Saat menjelang berangkat, kereta sudah penuh sesak. Penumpang duduk diberbagi tempat. Lorong setiap gerbong penuh sesak dan kita tak akan bisa lewat. Beranjak saja sulit apalagi harus bergerak. Meski begitu, masih saja ada pedagang mainan, makanan, minuman, bahkan pengamen yang menyempatkan diri ambil bagian mencari kehidupan. Saat itulah kesabaran luar biasa meski dihadirkan dalam hari yang paling dalam. Tidak ada kemarahan, tidak ada kekecewaan, semua penumpang diam menuju kota tujuan.
Kolaborasi