Menyusuri Jejak Malam Selikuran, Lailatul Qadar di Kota Solo
Barisan lentera atau ting yang semula menjadi pemimpin pasukan mulai menepi, sementara di belakangnya, para abdi dalem mulai menempatkan diri.
Pandangan para penonton yang semula mengarah ke lampu bertuliskan ayat suci itu kini beralih ke kotak kayu panjang berisi nasi berkat yang diusung di belakang.
Usai diletakkan di serambi Masjid Agung, kotak kayu yang disebut jodang itu kini dikelilingi para abdi dalem berpakaian hacinco hitam.
Sementara itu, di detik yang sama, para ulama terus melantunkan ayat-ayat suci dan berdoa, memohon untuk keselamatan masyarakat, bangsa dan negara.
Pada menit-menit selanjutnya bersamaan dengan kata Amin yang panjang, orang-orang mulai mengerumuni jodang.
Pun juga Wartini yang semula hening, kini ikut berkerumun, merangsek ke barisan paling depan demi mendapat berkatan yang tadi sudah didoakan.
Sembari memasukkan nasi berkat ke dalam tas yang sudah ia siapkan dari rumah, Wartini juga menceritakan sepotong cerita tentang malam selikuran.
Perempuan bersanggul itu menuturkan, Selikuran telah berlangsung sejak penyebaran agama Islam di Jawa yang diperkenalkan Wali Sanga.
Meski dalam perjalanannya mengalami pasang surut, tradisi yang juga dilakukan sebagai cara dakwah Islam di tanah Jawa itu kembali "hidup" di saat Pakubuwana X menjadi raja Surakarta (1893-1939).
Pada masa itu, malem Selikuran yang diselenggarakan saat Lailatul Qadar, Sang Raja memerintahkan semua penduduk untuk membawa lampu ting.