Arimbi Haryas Prabawanti
Arimbi Haryas Prabawanti Jurnalis

Half Photographer, half a Journalist Tempo.co

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Artikel Utama

Menyusuri Jejak Malam Selikuran, Lailatul Qadar di Kota Solo

25 April 2022   00:54 Diperbarui: 26 April 2022   20:31 2361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyusuri Jejak Malam Selikuran, Lailatul Qadar di Kota Solo
Lampion di Malam Selikuran, Jumat (22/4/2022)/Dokumentasi pribadi

SurakartaSorot lentera diiringi sayup-sayup tembang Durma yang dilantuntan para abdi dalem malam itu seakan menggenapi malam ganjil bulan Ramadan di pelataran kori kamandungan hingga Masjid Agung Keraton Surakarta.

Tepat pukul 21.00, jalan berkelok bertembok tinggi yang biasanya ramai klakson kendaraan mendadak sepi, digantikan suara kain jarik yang bergesekan dengan langkah kaki.

Sambil terus berjalan, orang-orang berpakaian beskap putih lengkap dengan keris dan blangkon itu terus merapal doa dan memanjatkan harapan.

Sama seperti abdi dalem lainnya, malam itu, Wartini (67) juga turut berjalan, menyusuri jalan Supit Urang Kraton Kasunanan hingga Masjid Agung.

Sepanjang jalan, ibu tiga orang anak itu tak banyak berbicara, meski tak begitu hafal ayat yang diucapkan para santiswara, dalam hati ia terus berdoa.

Wartini, para abdi dalem dan masyarakat Solo lainnya menyebut malam penuh doa dan harapan ini "Selikuran" atau dalam bahasa Jawa artinya dua puluh satu.

Bukan hanya perkara hitungan angka semata, selikuran juga memiliki makna lain yakni sing linuwih ing tafakur yang memiliki makna usaha untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Meski kerikil jalan mulai menyentuh kaki-kakinya yang keriput, dan malam semakin larut, ia tak terganggu.

Kumandang ayat suci semakin kencang, pertanda tujuan sudah dekat, di belakang para pasukan pembawa lentera, Wartini pun memasuki pelataran Masjid Agung dengan khidmat.

Lampion di Malam Selikuran, Jumat (22/4/2022)/Dokumentasi pribadi
Lampion di Malam Selikuran, Jumat (22/4/2022)/Dokumentasi pribadi

Berbeda saat perjalanan, sesampainya di Masjid Agung, lantunan tembang mulai berbaur dengan suara riuh pengunjung dan masyarakat yang ingin sekadar menonton.

Barisan lentera atau ting yang semula menjadi pemimpin pasukan mulai menepi, sementara di belakangnya, para abdi dalem mulai menempatkan diri.

Pandangan para penonton yang semula mengarah ke lampu bertuliskan ayat suci itu kini beralih ke kotak kayu panjang berisi nasi berkat yang diusung di belakang.

Lampion di Malam Selikuran, Jumat (22/4/2022)/Dokumentasi pribadi
Lampion di Malam Selikuran, Jumat (22/4/2022)/Dokumentasi pribadi

Usai diletakkan di serambi Masjid Agung, kotak kayu yang disebut jodang itu kini dikelilingi para abdi dalem berpakaian hacinco hitam.

Sementara itu, di detik yang sama, para ulama terus melantunkan ayat-ayat suci dan berdoa, memohon untuk keselamatan masyarakat, bangsa dan negara.

Pada menit-menit selanjutnya bersamaan dengan kata Amin yang panjang, orang-orang mulai mengerumuni jodang.

Pun juga Wartini yang semula hening, kini ikut berkerumun, merangsek ke barisan paling depan demi mendapat berkatan yang tadi sudah didoakan.

Sembari memasukkan nasi berkat ke dalam tas yang sudah ia siapkan dari rumah, Wartini juga menceritakan sepotong cerita tentang malam selikuran.

Perempuan bersanggul itu menuturkan, Selikuran telah berlangsung sejak penyebaran agama Islam di Jawa yang diperkenalkan Wali Sanga.

Meski dalam perjalanannya mengalami pasang surut, tradisi yang juga dilakukan sebagai cara dakwah Islam di tanah Jawa itu kembali "hidup" di saat Pakubuwana X menjadi raja Surakarta (1893-1939).

Pada masa itu, malem Selikuran yang diselenggarakan saat Lailatul Qadar, Sang Raja memerintahkan semua penduduk untuk membawa lampu ting. 

Lampu ting tersebut digunakan untuk mengiringi arak-arakan karena pada masa itu lampu listrik masih sangat jarang atau bahkan tidak ada.

Wartini mengaku, ia mengikuti tradisi ini sejak usianya masih 17 tahun, mengingat kedua orang tuanya juga merupakan santiswara atau pelantun tembang Jawa di Kraton Surakarta.

Ia menilai, semarak Selikuran kini tak lagi seramai saat Wanti masih muda dahulu, banyak perbedaan mulai dari jalur perjalanan hingga antusias masyarakatnya.

Hingga sekitar 2007, lanjut dia, rute perjalanan Selikuran biasanya dimulai dari Keraton Kasunanan dan diakhiri di Taman Sriwedari, lengkap dengan pasar malam dan keramaian Jalan Slamet Riyadi.

Selikuran yang sempat terhenti

Sebagai informasi, Slikuran sempat terhenti pada masa Pakubuwana XII dan hanya dilaksanakan di Keraton Surakarta. 

Namun saat H R Hartomo menjadi wali kota Surakarta  (1985-1995), Malam Selikuran kembali dilaksanakan di Taman Sriwedari. 

Hal terseniy dikarenakan adanya perbedaan pemahaman budaya masyarakat.

Pada masa itu, masyarakat sangat meyakini pembangunan hanya perlu dari segi ekonomi sementara sisi budaya sempat terabaikan.

(Arimbi Haryas Prabawanti/2022)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun