Persimpangan Jalan dan Kampung Halaman
Menjelang puasa dan lebaran, kurang lebih 80 persen tiket armada perjalanan mudik darat, laut maupun udara sudah habis diburu masyarakat yang merantau.
Tak hanya itu, rental mobilpun juga mulai ramai mendapat pesanan untuk penggunaan armada bulan April hingga Mei 2023.
Mudik, fenomena tahunan yang selalu menjadi momentum yang ditunggu-tunggu kehadirannya, terlebih setelah 2 tahun sempat tertahan akibat Covid-19.
Sebut saja Ngatmi (32), perempuan asal Magelang yang siang itu tercenung di depan loket tiket Jakarta-Surabaya. 2 tas jinjing ia bawa, dan 1 ransel digendongnya. Matanya sayu bak tak tidur dua minggu. Tubuhnya pun kuyu, dan bibirnya sedikit membiru.
Riuhnya Terminal Tidar, membangunkan lamunannya yang mulai pudar. 10 menit berlalu, ia baru sadar saya duduk disampingnya untuk menunggu.
"Mau kemana mbak?", tanyaku. Sekilas Ngatmi menoleh, namun tak menjawab, entah takut atau ia kira, saya sales bolpoin yang sekadar basa-basi. Kamipun kembali hening.
5 menit setelahnya Ngatmi menghela nafas keras-keras, sembari berdiri dan merapikan tasnya yang tergeletak di aspal.
"Arep mulih we abot temen dancuk asu!" kata Ngatmi lantang dan seketika mengejutkan orang-orang sekitarnya yang turut mendengar.
Sejurus kemudian ia menoleh pada saya, matanya mendadak nyalang, suaranya kembali garang, menutup sebongkah perasaan yang sebenarnya telah pupus jadi arang.
Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai asisten rumah tangga di ibu kota itu kecewa berat pada dirinya sendiri yang baru saja di PHK dan pulang ke kota sejuta bunga dengan tangan hampa.
Jangankan buah tangan, untuk sampai ke desanya saja, ia tak bisa. Jangankan uang pesangon, gaji bulanan terkahirnya saja harus ia minta sambil memohon-mohon.
Namun pada kacamata lain, Ngatmi dipandang sebagai pahlawan, yang kedatangannya seolah menyelamatkan peliknya keadaan. Maka, mudik ngatmi kali ini tak perlu lagi menunggu lebaran.
Dalam kekalutannya Ngatmi menceritakan, dulunya, 10 tahun ia merantau, tak pernah sekalipun ia melewatkan mudik lebaran.
Tas jinjing yang ia bawa biasanya penuh pakaian baru dan makanan ringan, oleh-oleh untuk ayah dan ibu yang sudah tak sabar menunggu di depan pintu.
Para tetangga juga sibuk berkunjung untuk sekadar menengok sejauh mana ia mencari uang dan ilmu.
Mirisnya, tak satupun yang bertanya, bahagia kah Ngatmi di ibu kota? berapa waktu yang ia habiskan untuk mencari sesuap nasi untuk keluarga? Rindu kah ia pada suara ayam berkokok yang membangunkannya pagi-pagi buta? Siapa yang mendekapnya dalam setiap lara yang ia terima?
Ngatmi sendiri menuturkan, harusnya ia tak begitu terkejut dengan fenomena itu. Biasa, katanya.
Lalu hari ini, ia harus menerima kenyataan, pulang tanpa sambutan, tanpa harapan.
Mudik dalam bayangan Ngatmi selalu jadi persimpangan jalan, tentang kompensasi kebahagiaan, atau angan tanpa ingin yang hanya jadi angin.
Selesai mendengar keluh kesah Ngatmi, tanpa memberi dia solusi, saya beranjak ke Warung Soto di ujung terminal. Asapnya mengepul membawa aroma rempah yang dipadu kaldu ayam.
Saya memesan dua es teh dan satu soto mengingat hawa siang itu luar biasa panasnya. Denting suara mengaduk gelas ditutup dengan deru mobil yang berhenti.
Kendaraan ber plat AB itu berhenti, 2 penumpangnya yang berdandan perlente turun tanpa membawa satu pun barang.
"Soto dua es teh dua," sebutnya sembari mencopot kacamata hitam.
Laki-laki itu mengenakan jaket kulit hitam, topi bermerek ternama dengan logo kuda, dialeknya seperti orang kota, ia selalu menggunakan Bahasa Indonesia.
Panggil saja Darmin (40) dan Darsih (38), sepasang suami istri yang nampaknya datang dari jauh dan baru selesai menempuh perjalanan panjang.
Darsih menoleh, "dari mana mbak?", tanyanya.
"dari Magelang bu", kata saya sambil menerima semangkuk soto panas. Sepersekian detik asap soto tersebut menjeda percakapan kami. Dia, hanya mengangguk.
Setelahnya, saya masih sibuk mengaduk-aduk kuah, menyeruputnya sedikit demi sedikit sembari mencuri dengar percakapan keduanya.
Berbeda dengan Ngatmi, keduanya tampak lebih menggebu, dompet disaku tak hanya berisi dua ribu, namun deretan gambar Soekarno warna merah dan lembaran biru.
Darsih, perempuan paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai penjual bakso di Jakarta itu bersemangat menyebut nama-nama saudara yang hendak ia kunjungi.
Sedangkan Darman (yang sepertinya adalah suami Darsih), hanya banyak meng iya kan dan sedikit tertawa renyah. Mereka terlihat tak menggendong beban perkara, sepertinya.
"Mudik bu?", tanya saya. Darsih menoleh, "Iya mbak, sudah 10 tahun nggak pulang, kangen," katanya.
Lagi-lagi pembicaraan kami terjeda, kali ini karena seorang anak kecil mengamen dan menyodorkan tangannya.
Darsih terlihat tergugu, ia kemudian mengeluarkan uang 50 ribu dari dompetnya yang berwarna biru, matanya berkaca-kaca, rona wajahnya tetiba pilu.
Belum sempat menyambung tanya, Darsih kembali menoleh, ia menceritakan, pengamen tadi mirip anaknya yang meninggal 10 tahun yang lalu.
Anak Darsih yang bernama Darno meninggal akibat penyakit kelainan ginjal dan usus besar. Nyawanya tak tertolong lantaran waktu itu ia tak memiliki biaya untuk berobat.
Tak usah bicara soal asuransi atau kartu bantuan negara berwarna hijau, Darsih yang tidak bisa baca tulis tak tau bagaimana cara mengurusnya, waktu itu.
Kepergian Darno menyisakan luka mendalam bagi keduanya, lingkaran kemiskinan ia tuduh sebagai penyebab beratnya beban keluarga.
Lagi-lagi bagai berada di persimpangan jalan, antara tuntutan keadaan dan sebuah cara untuk bangkit dan melupakan.
Darsih dan Darman waktu itu akhirnya memutuskan untuk merantau ke kota metropolitan, demi sebuah usaha memperbaiki ekonomi dan memutus rantai kesengsaraan.
Mulai dari bakso gerobak dorong yang ia jajakan di depan kompleks perkantoran Sarinah hingga kini memiliki 3 kios bercat merah.
Sesekali, saat sepi, Darsih terkadang teringat Darno, putra satu-satunya yang telah tiada. Hal itu jugalah yang membuatnya merasa berat kembali ke tanah kelahirannya.
Bayang-bayang tetangga yang menghakimi membuat Darsih seolah-olah menjadi ibu gagal, terlintas seperti potongan film yang tidak bisa dijeda tiap adegannya.
Sekarang, Darsih dan Darman pulang, dengan roda empat baru miliknya, sakunya penuh, tubuhnya tegak, senyumnya merekah.
Tapi keberhasilannya bukan sebuah kompensasi, atas sakit yang pernah ia peluk sendiri.
Begitu juga kampung halaman, memang jadi obat kerinduan, tapi sekaligus mengupas luka yang nyatanya masih menganga.
Hubungannya dengan mudik? Darsih dan Darman memilih pulang sebelum lebaran dengan berbagai pertimbangan. Mulai dari enggan mendengar berbagai hujatan, atau hadir pada tiap-tiap hajatan.
Selain itu, harga bakso Sarinah bisa naik 3 kali lipat, jika Darsih dan Darman tetap buka saat lebaran. Lagi-lagi perkara hitungan.
Soto dimangkuk akhirnya tandas, sayapun berpamitan, saat hendak membayar, sang penjual menolaknya.
"Sudah dibayar ibu yang itu", katanya. Saya mengangguk dan bersalaman sebagai tanda terimakasih.
"Semangat bekerjanya mbak, semoga berkah," katanya sembari menepuk tangan saya dengan raut wajah penuh kelegaan.
Keluar dari warung soto, saya melambaikan tangan pada angkot warna biru dari arah selatan dengan kode 02 menuju persimpangan Canguk yang terpampang pada kacanya. Mari pulang.
Ternyata, mudik-lebaran-kampung halaman- memiliki banyak sudut pandang dengan ungkapan rasa yang berbeda-beda.
Catatan kaki saya untuk laporan kerja yang seharusnya berisi kombinasi angka mendadak hilang saat di angkutan.
Boleh jadi target hari ini tidak terpenuhi, tetapi setidaknya, telinga saya cukup berfungsi untuk orang-orang maupun kaca bagi diri sendiri.
Ada banyak cerita tentang pulang, yang ternyata kadang panas di kening pedih dikenang.