Menahan Gravitasi Sosial
Religiusitas seseorang dalam beragama itu dapat dibaca dan diketahui gejalanya dari keimanannya dalam bersikap dan berperilaku sehari hari, baik secara sosial, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Dalam kehidupannya, seseorang yang beriman lebih mengedepankan kualitas nilai-iman.
Dan bukannya kuantitas materi. Sehingga tidak mengherankan jika ada orang yang mengungkapkan, bahwa seseorang yang beragama belum tentu ia adalah seseorang yang beriman, religius. Dan hal itu, boleh jadi merupakan suatu pengalaman bacaannya dari fenomena (realitas) kehidupan.
Misalkan : Tidak sedikit pejabat negara, pejabat daerah, anggota dewan, dan seterusnya, melakukan tindakan criminal, pelanggaran hukum, korupsi, kolusi dan neporisme (masuk penjara). Mereka kesemuanya adalah orang orang yang beragama. Mereka masih sangat tertarik dengan pesona, daya tarik (gravitasi) dunia.
Dikisahkan, KH. Ahmad Dahlan, selalu membaca dan mengulang ulang bacaan surat yang diajarkan kepada muridnya. Dan surat bacaan itu ialah sural al Maa'un dalam Surat Cinta-Nya. "Maka kecelakaanlah bagi orang orang yang shalat. Yaitu orang orang yang lalai dari shalatnya". (Q:107:4-5).
Sebagaimana diketahui, bahwa surat al Maa'un itu berbicara secara eksplisit mengenai tanggung jawab sosial. Ummat Islam diwajibkan untuk membangun realitas sosial (politik, ekonomi, hukum, dan seterusnya) itu dalam bingkai nilai keimanan.
Atau meminjam istilahnya Amin Rais, "Membangun tauhid sosial". Dan hal tersebut, sesuai atau sejalan dengan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945, yang dicita citakan oleh para pendiri negara.
Fenomena menunjukkan bahwa keadilan telah menguap dalam realitas sosial kebangsaan. Apalagi dengan lahirnya demokrasi liberal dinegara ini, Indonesia. Demokrasi identik dengan kuantitas. Demokrasi diukur dengan kekuatan materi dan finansial, kapitalisasi.
Dan keadilan pun akan disesuaikan dengan kuantitas materi dan kapitalisasi tersebut. Kekuatan Tuhan (realitas dibalik alam semesta) yang di imani pun telah dilepaskan dari hukum gratvitasi sosial-demokrasi Pancasila di Indonesia, dan telah di konversi menjadi tuhan tuhan (kuantitas materi) kasat mata, berupa kekayaan, jabatan, seks bebas, dan seterusnya.
Kehidupan pemeluk agama hanya tinggal ritualitas dan simbolik ansich. Pakaian religiusnya telah ditanggalkan dalam ruang publik, ruang sosial, politik, hukum, dan seterusnya.
Dan harapan serta kecemasan pun senantiasa hadir mewarnai dalam kehidupan masyarakat dan rakyat Indonesia. Apakan Indonesia akan terlahir kembali? Suatu pertanyaan yang sederhana, namun sulit menjawabnya. Menahan atau mengendalikan gravitasi materi dalan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tidak mudah, diperlukan suatu kekuatan.
Dan kekuatan itu ialah "Iman". Kehilangan harapan tidak boleh harus pula kehilangan kepercayaan. Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa harus senantiasa dijaga, dirawat, dpelihara dan dihidupkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kelak akan lahir Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Indonesia reborn.
"Demi Waktu! Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang orang yang beriman dan mengamalkan keimanannya, beramal kebaikan". (Quran).