Menahan Gravitasi Sosial
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita ummat Islam diseluruh dunia, tak terkecuali ummat Islam di Indonesia. Di bulan Ramadhan ada suatu kegiatan pencerahan didalamnya, yakni "Kegiatan Ibadah Puasa". Dan kegiatan itu adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang orang (Islam) yang beriman.
Sadar atau tidak, BulanSebagaimana terungkap dalam Surat Cinta-Nya : "Hai orang orang yang beriman! Telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang orang sebelum kamu. Mudah mudahan kalian menjadi orang orang yang bertaqwa". (Quran : 2: 183).
Puasa secara bahasa bermakna 'menahan'. Sementara menurut syara, puasa berarti menahan diri dari dari hal hal yang dapat membatalkan puasa sejak terbit hingga terbenamnya matahari. Dengan kata lain puasa menurut syara memberikan suatu batasan waktu.
Puasa lahiriah. Sementara puasa menurut hadist qudsi : "Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan kelak Aku yang akan membalasnya". Puasa psikis dan spiritual.
Dan hal tersebut, sangat relevan dengan pesan Kanjeng Rasul, "Bahwa Allah tidak akan memandang pada struktur tubuh dan materi hambanya (cantik dan tampan, jelek dan buruk wajah dan tubuh, serta kaya dan miskin, atau berpendidikan dan tidak berpendidikan). Tetapi Diri-Nya lebih memperhatikan pada struktur hati -niat dan amal perbuatannya".
"Kita baru saja memenangkan dan menyelesaikan perang kecil, "demikian ungkap Kanjeng Rasul, kepada para sahabatnya. Para sahabat pun terkejut dibuatnya (dengan pernyataan Kanjeng Rasul itu).
Karena mereka baru saja menyelesaikan dan memenangkan Perang Besar-Badar, yang telah mengakibatkan banyak korban meninggal dunia dan luka luka yang menganga.
"Apakah ada perang yang lebih besar setelah perang ini, "tanya sahabat? "Iya, " jawab Kanjeng Rasul. Kanjeng Rasul pun melanjutkan penjelasannya secara simbolik : "Perang melawan hawa nafsu".
PENCERAHAN SOSIAL
Puasa diyakini akan dapat membentuk individu yang tidak individualistik dalam kehidupannya, jika dilakukan secara benar dan dengan sepenuh hati, iman dan ihtisab. Karena ibadah puasa itu, menurut Surat Cinta-Nya, Quran, adalah hanya diperuntukkan atau diwajibkan bagi orang orang yang beriman. "Iman ialah ma'rifat (pengenalan), diingat dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan". (HR. Tabrani).
Religiusitas seseorang dalam beragama itu dapat dibaca dan diketahui gejalanya dari keimanannya dalam bersikap dan berperilaku sehari hari, baik secara sosial, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Dalam kehidupannya, seseorang yang beriman lebih mengedepankan kualitas nilai-iman.
Dan bukannya kuantitas materi. Sehingga tidak mengherankan jika ada orang yang mengungkapkan, bahwa seseorang yang beragama belum tentu ia adalah seseorang yang beriman, religius. Dan hal itu, boleh jadi merupakan suatu pengalaman bacaannya dari fenomena (realitas) kehidupan.
Misalkan : Tidak sedikit pejabat negara, pejabat daerah, anggota dewan, dan seterusnya, melakukan tindakan criminal, pelanggaran hukum, korupsi, kolusi dan neporisme (masuk penjara). Mereka kesemuanya adalah orang orang yang beragama. Mereka masih sangat tertarik dengan pesona, daya tarik (gravitasi) dunia.
Dikisahkan, KH. Ahmad Dahlan, selalu membaca dan mengulang ulang bacaan surat yang diajarkan kepada muridnya. Dan surat bacaan itu ialah sural al Maa'un dalam Surat Cinta-Nya. "Maka kecelakaanlah bagi orang orang yang shalat. Yaitu orang orang yang lalai dari shalatnya". (Q:107:4-5).
Sebagaimana diketahui, bahwa surat al Maa'un itu berbicara secara eksplisit mengenai tanggung jawab sosial. Ummat Islam diwajibkan untuk membangun realitas sosial (politik, ekonomi, hukum, dan seterusnya) itu dalam bingkai nilai keimanan.
Atau meminjam istilahnya Amin Rais, "Membangun tauhid sosial". Dan hal tersebut, sesuai atau sejalan dengan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945, yang dicita citakan oleh para pendiri negara.
Fenomena menunjukkan bahwa keadilan telah menguap dalam realitas sosial kebangsaan. Apalagi dengan lahirnya demokrasi liberal dinegara ini, Indonesia. Demokrasi identik dengan kuantitas. Demokrasi diukur dengan kekuatan materi dan finansial, kapitalisasi.
Dan keadilan pun akan disesuaikan dengan kuantitas materi dan kapitalisasi tersebut. Kekuatan Tuhan (realitas dibalik alam semesta) yang di imani pun telah dilepaskan dari hukum gratvitasi sosial-demokrasi Pancasila di Indonesia, dan telah di konversi menjadi tuhan tuhan (kuantitas materi) kasat mata, berupa kekayaan, jabatan, seks bebas, dan seterusnya.
Kehidupan pemeluk agama hanya tinggal ritualitas dan simbolik ansich. Pakaian religiusnya telah ditanggalkan dalam ruang publik, ruang sosial, politik, hukum, dan seterusnya.
Dan harapan serta kecemasan pun senantiasa hadir mewarnai dalam kehidupan masyarakat dan rakyat Indonesia. Apakan Indonesia akan terlahir kembali? Suatu pertanyaan yang sederhana, namun sulit menjawabnya. Menahan atau mengendalikan gravitasi materi dalan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tidak mudah, diperlukan suatu kekuatan.
Dan kekuatan itu ialah "Iman". Kehilangan harapan tidak boleh harus pula kehilangan kepercayaan. Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa harus senantiasa dijaga, dirawat, dpelihara dan dihidupkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kelak akan lahir Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Indonesia reborn.
"Demi Waktu! Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang orang yang beriman dan mengamalkan keimanannya, beramal kebaikan". (Quran).