Berburu Kudapan Ramadhan Ekonomi Kerakyatan
Apa itu rakyat? Dimana rakyat? Apa hubungannya rakyat dengan negara? Dan apa pula hubungannya rakyat dengan suatu pemerintahan? Pertanyaan pertanyaan itu, lumayan kembali bergema diatas permukaan tanah air Indonesia (realitas sosial), meskipun lumayan sayup sayup terdengar.
Kesemua pertanyaan itu, lahir akibat fenomena fenomena (kebijakan sosial politik pemerintah) yang yang lebih cenderung berpihak kepada kepentingan kehidupan ekonomi segelintir orang (oligarki), dan telah membawa konsekwensi kepada kehidupan rakyat (khalayak luas). Kemiskinan struktural. Angka produktif tenaga kerja setiap tahunnya bertambah, mulai dari lulusan SMA dan hingga sarjana. Sementara itu, pemerintah lumayan sangat gagal memberikan ruang kesempatan kerja pada mereka, sehingga mengakibatkan (lahirnya) pengangguran pengangguran baru ditanah air. Membengkak jumlahnya.
Jika fenomena itu, tidak segera disikapi dan ditangani segera, maka akan melahirkan penyakit sosial dan intelektual, seperti tindak kejahatan (kriminal), pelacuran, perkosaan, pembunuhan, dan seterusnya. Adalah sangat menarik dan relevan, ketika menyinggung seorang menkopolhukam, Mahfud MD, yang mengutarakan, terkait adanya transaksi janggal dan mencurigakan yang memcapai ratusan trilyunan rupiah oleh pejabat publik. Dan masih menurutnya, jika uang itu dikelola oleh negara secara optimal, maka setiap orang-warga negara yang tidak berkerja akan mendapatkan uang sebesar 20 juta rupiah setiap bulannya. Dengan kata lain, jika (angka) korupsi bisa ditangani secara serius tanpa adanya kepentingan lain, selain kepentingan hukum dan keadilan, maka Indonesia adalah negara yang paling kaya dan makmur, serta rakyatnya akan menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, baik secara mental maupun spiritual.
Kenyataannya, korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya. Dan diduga dilakukan secara sistemik. Melibatkan sejumlah lembaga negara dan lembaga politik (partai partai politik), sehingga lumayan sangat sulit dikendalikan. Apalagi dihilangkan. Seakan slogan "Indonesia Bebas Korupsi " adalah suatu utopia ansich.
KUDAPAN RAKYAT
Sadar atau tidak, rakyat Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Dan kini, ummat Islam diseluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, sedang memasuki bulan suci Ramadhan. Didalamnya, turun kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa bagi ummat Islam beriman selama sebulan lamanya (Quran. 2:183-185). Peristiwa puasa itu, merupakan suatu rangkaian sejarah dalam kehidupan didunia-ummat beragama. Sebagaimana diterangkan secara ekplisit didalam ayat tersebut diatas, bahwa ibadah puasa telah diwajibkan atas orang orang sebelumnya, sebelum ummat Nabi Muhammad saw.
Ibadah puasa berarti menahan segala sesuatu yang dapat merusak atau membatalkannya, dari terbit fajar, hinggga terbenamnya matahari (maghrib). Dan yang paling menarik dari kegiatan ibadah puasa di bulan Ramadhan ialah munculnya pelaku pelaku ekonomi rakyat kecil, dengan menjual pelbagai kudapan berbuka puasa (takjil), mulai dari minuman pemanis hingga makanan.
Fenomena fenomena ekonomi kerakyatan yang lahir dibulan suci Ramadhan itu, memberikan suatu gambaran yang lumayan sangat menarik. Menarik ketika kita tidak hanya mengukurnya dari aspek ekonomi konvensional, melainkan juga melibatkan aspek spiritualnya (keimanan). Bahwa mereka menjual kudapan berbuka puasa (takjil) itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan semata, melainkan juga untuk bisa mendapatkan keberkahan didalamnya. Karena menyediakan atau memberikan makan kepada orang yang berpuasa adalah sama nilai dan derajatnya dengan orang yang berpuasa.
Melalui fenomena fenomena itu pula, kita dapat memberikan kesimpulan yang berbeda dengan tata Bahasa yang disampaikan oleh pihak kekuasaan, bahwa tahun 2023, ekonomi nasional mengalami resesi. Kenyataannya, ekonomi rakyat tetap bergerak dan menggeliat diruang kehidupan sosial kehidupan. Dengan kata lain, rakyat tetap bisa mengurus ekonominya sendiri. Karena negara dan pemerintahan itu didirikan atau diwujudkan oleh rakyat. Dan bukan sebaliknya, bukan negara yang mewujudkan rakyat. Jadi, lumayan sangat keliru dan menyesatkan jika ada suatu framing, bahwa kebijakan politik dan kekuasaan itu mencerminkan keinginan rakyat.
Pertanyaan pun kembali muncul kepermukaan : Rakyat yang manakah.....? Rakyat oligarkikah... ?