Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita
Kenangan Ramadan di Masa Kecil, Jangan Terjadi pada Anak-anak
Ramadan seringkali meminggalkan kesan indah di hati umat Islam.
Kecuali bagi sedikit orang, datangnya bulan penuh hikmah ini mungkin bertepatan dengan peristiwa duka yang dialami. Ayah yang meninggal, rumah yang terbakar, atau sedang terbaring di rumah sakit sampai hari lebaran tiba, misalnya.
Alhamdulillah saya tidak termasuk ke dalam sedikit orang tersebut.
Ramadan di masa kecil bersama adik semata wayang, mungkin tidak bisa dikatakan sebagai nostalgia. Tetapi menjadi catatan bagi saya.
Berikut kisahnya:
Berbuka puasa tanpa ditemani ibu dan bapak
Masa itu, tahun 1990 kami sekeluarga baru saja menempati rumah baru di perkampungan yang belum padat penduduk. Saat itu saya berusia sepuluh tahun, dan adik tujuh tahun.
Selama beberapa kali datangnya bulan Ramadan, saya dan adik selalu berbuka puasa tanpa ditemani ibu dan bapak. Hanya saya dan adik laki-laki. Ini terjadi karena saat itu ibu harus bekerja di pabrik kayu lapis untuk mencari nafkah.
Selama beberapa dekade, kota Samarinda memang berjaya dengan hasil hutan berupa kayu gelondongan yang kemudian diolah menjadi kayu lapis. Bahkan kota kelahiran saya ini sampai dijuluki "Kota Kayu" pada waktu itu.
Saya ingat, pagi hari sebelum ibu berangkat kerja, beliau memberikan sejumlah uang untuk dibelanjakan pada tetangga kami yang berjualan takjil ala kadarnya.
Pada jam tiga siang, saya dan adik pun pergi melihat apa sajakah yang dijual dan cocok dengan kesukaan kami. Ada cendol, es campur, gorengan, dan mihun. Sementara tetangga lainnya lagi, menjual lumpia, urap sayur, dan es buah (sekarang disebut es buah jadul).