Azis Maloko
Azis Maloko Penulis

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Cosmology Puasa Ramadhan: Pertautan Antar Etos Sosial dan Nalar Iman

21 Maret 2024   10:12 Diperbarui: 21 Maret 2024   10:27 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cosmology Puasa Ramadhan: Pertautan Antar Etos Sosial dan Nalar Iman
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Di antara edukasi dan kritik ssosial dimaksud adalah rasa lapar dan dahaga saat berpuasa belum seberapa bila dibandingkan dengan rasa lapar dan dahaga yang dialami oleh orang-orang di luar sana dari kalangan fakir miskin dan dhuafa. Di mana banyak di antara mereka kadang tidak makan seharian, dua hari bahkan berhari-hari malahan. Kalau pun makan minum, mereka harus bersusah payah berkelahi dengan waktu dan suasana semesta (siang malam). Itu pun kadang tidak begitu menjanjikan bagi kebutuhan hidup mereka. Mereka hidup di atas puing-puing penderitaan, sementara orang kaya asyik dengan kehidupannya. Seolah-olah mereka tuli, buta dan lumpuh dengan fakta-fakta penderitaan di sekitarnya.

Setidaknya ada beberapa etos sosial yang bisa digali langsung dari "mata air" puasa (Ramadhan). Pertama; soal kesadaran sosial. Dengan adanya rasa lapar dan dahaga, semestinya menumbuhkan kesadaran sosial bagi semua kalangan, khususnya kalangan borjuis dan elitis umat Islam. Karena orang yang berpuasa sudah begitu merasakan bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Bahwa kondisi tidak makan semenjak imsak hingga ifthar terbilang sesuatu yang berat. Meskipun demikian, kesadaran sosial merupakan level terendah dalam membangun etos sosial. Apalagi kalau kesadaran sosial yang dimaksud baru sampai pada level kesadaran magic dan naif, tidak sampai pada "kesadaran kritis".

Sebab, kesadaran magic dan kesadaran naif merupakan kesadaran yang masih terbilang rendah dan determinan sebagaimana sabda seorang Paulo Freire. Tidak mengapa jika kesadaran sosial baru sampai pada level demikian, dari pada tidak ada sama sekali kesadaran ketika melihat dan menyaksikan siklus penderitaan kehidupan kalangan fakir miskin dan dhuafa. Bisa-bisa saja jiwa manusia semacam itu telah "mati" atau meminjam istilah Sigmund Freud disebut-kenal dengan "jiwa tidak sadar". Tidak sadar dan atau mati karena tidak bisa merasakan penderitaan fakir miskin dan dhuafa. Tentuny cukup ironis manakala telah hilang dan mati kesadaran dalam semesta jiwa dalam melihat penderitaan fakir miskin dan dhuafa.

Kedua; kepekaan, kesetiakawanan dan kepedulian sosial. Pada etos sosial ini terjadi peningkatan kurva etos sosial dalam melihat dan menyikapi realitas kehidupan. Puasa tidak hanya sekedar menumbuh-suburkan kesadaran bagi setiap orang, khususnya dari kalangan orang kaya. Tetapi juga menumbuhkan kepekaan, kesetiakawanan dan kepedulian sosial. Dengan puasa, orang-orang semakin peka (sensitif) dengan kehidupan fakir miskin dan dhuafa di kiri dan kanannya. Bahkan kepekaan bergerak terus menjadi sebuah gerakan kesetiakawanan dan kepedulian sosial. Bahwa tidak cukup rasanya hanya sekedar sadar, simpati dan peka dengan kehidupan fakir miskin dan dhuafa, tetapi harus juga ada kepedulian sosial di sana.

Maka di sana ditemukan pula semarak gerakan sedekah dan donasi berbagi kebahagiaan untuk banyak orang, baik bagi orang yang tengah puasa maupun secara khusus lagi bagi fakir miskin dan dhuafa. Bentuk kepedulian sosial ini cukup variatif, kreatif dan inovatif. Ada dalam bentuk menyediakan menu ifthar. Ada pula dalam bentuk penyediaan paket sedekah untuk fakir miskin dan dhuafa. Tentu selain zakat yang notabene menjadi bagian penting dalam kerja-kerja kepedulian sosial, karena di sana distribusi keadilan ekonomi tercipta dan terbangun. Pada konteks ini pula bermunculan pelbagai lembaga, resmi maupun belum resmi, mengambil bagian untuk melakukan kerja-kerja kepedulian sosial.

Sayangnya, pengalaman spiritual ibadah puasa semacam ini belum sepenuhnya menjiwai kehidupan umat Islam secara umumnya. Bahkan di luar sana banyak juga orang yang memiliki pengalaman sosial-historis yang nyaris sama dengan pengalama spiritual ibadah puasa, namun kondisinya tetap sama, tidak melahirkan etos sosial yang sangat berarti dalam hidupnya. Tidak hanya di luar bulan Ramadhan, akan tetapi nyaris juga di dalam bulan suci Ramadhan. Tipologi orang-orang semacam ini pada sesungguhnya gagal mengambil ibrah dan i'tibar dalam pelbagai rangkaian pengalaman hidup yang dilakoni dan dilalui dalam hidup. Sehingga, tidak ada sama sekali kesadaran, kepekaan dan kepedulian sosial antar sesama.

Refleksi Nalar Iman

Etos sosial (dalam) puasa merupakan refleksi aplikatif dari nalar iman itu sendiri. Sebagaimana sebuah ungkapan yang cukup familiar bahwa semakin tinggi dan baik kualitas iman (seseorang), maka akan semakin baik pula relasi dan etos sosialnya. Karena itu, tidak salah kemudian Nabi Muhammad SAW. dengan tegas mengatakan bahwa seseorang tidak akan dikatakan (benar-benar) beriman (dengan iman yang sempurna) sampai benar-benar mencintai (sesuatu untuk) saudaranya sebagaimana mencintai (sesuatu untuk) dirinya, l yu'minu ahadukum hatt yuhibbu li akhhi m yuhibbu li nafsihi. Hadis ini berbicara dan menekankan aspek relasi antara nalar iman dan nalar kesalehan sosial dalam Islam.

Dengan kata lain, jika seseorang mencintai kebaikan untuk dirinya, maka harus juga mencintainya untuk saudaranya juga. Wujudnya bisa dalam bentuk dakwah atau hanya sekedar tegur sapa, memberikan nasihat, wejangan dan petuah. Pun begitu halnya jika seseorang mencintai kehidupan yang baik bagi dirinya, maka harus pula menginginkan hal itu dirasakan juga oleh saudaranya. Wujudnya bisa dalam bentuk tolong menolong, saling membantu meringankan kehidupan dan lainnya. Jika seseorang hanya merasa sesuatu itu cukup untuk dirinya saja tanpa ingin berbagi misalnya, maka oleh Nabi saw. hal demikian bisa menegasikan eksistensi iman dan keberimanan bagi seseorang.

Pada konteks itulah kedudukan strategis etos sosial sebagai refleksi aplikatif dari nalar (keber)iman(an) seseorang. Iman tidak sekedar keyakinan dibalik altar dan spektrum hati atau hanya berkutat pada persoalan hati saja. Akan tetapi, iman juga berbicara dalam konteks amal perbuatan. Hal demikian masyhur dalam qual banyak ulama, di antaranya al-Imam asy-Syafi'i, bahwa al-tasdiq bi al-qalb wa al-iqrar bi al-lisan wa al-amal bi al-jawarih. Artinya, iman tidak melulu hanya urusan hati semata. Apalagi kalau diandaikan iman tidak ada sangkut pautnya dengan yang namanya amal perbuatan manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Akan tetapi, iman berkaitan erat dengan kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Hal demikian perlu ditegaskan agar supaya tidak ada lagi pandangan dikotomis terkait nalar iman, kesalehan individual dan kesalehan sosial. Karena banyak pengandaian bahkan sampai pada level framing destruktif negatif terhadap image dan citra Islam, bahwa seolah-olah Islam itu hanya agama yang mengurus soal iman dan kesalehan individual tanpa sedikitpun menyentuh hal ihwal yang bertalian dengan kesalehan sosial. Pengandaian nir reference dan nalar semacam ini nyaris ditemukan di mana-mana, hatta oleh mereka-mereka yang dikatakan sebagai kaum yang "tercerahkan" Padahal Islam adalah agama (untuk) dunia akhirat; agama untuk individu dan masyarakat; bahkan agama untuk pembangunan peradaban suatu bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun