anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris
Cosmology Puasa Ramadhan: Pertautan Antar Etos Sosial dan Nalar Iman
Ketika membaca teks bahasa agama tentang kewajiban puasa di antaranya ditemukan bahwa puasa (dalam Islam) hanya diperintahkan kepada orang-orang beriman (QS al-Baqarah/2:183), baik orang beriman yang kuat imannya maupun lemah sama sekali. Olehnya, ditemukan banyak sekali hadis-hadis dan juga qaul ulama yang menjelaskan hubungan iman dan amalan (dalam) puasa Ramadhan. Di antaranya salah satu hadis yang cukup familiar yang mengatakan bahwa barang siapa berpuasa ramadhan karena di sana ada iman dan mengharapkan pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, man shma ramadhna imnan wahtisaban ghufiro lahu m taqoddama min dzanbih (HR Bukhari).
Bahkan di antara syarat penting bagi seseorang untuk bisa mengikuti madrasah ramadhan selama satu bulan dengan ibadah puasa sebagai kurikulum utamanya adalah Islam, selain taklif (baligh dan berakal), mampu, sehat dan mukim sebagaimana masyhur dalam kitab-kitab fikih, yakni syurtu wujbihi khamsah, Islm, taklf, ithqah, shihhah wa iqmah. Tentunya, syarat Islam dimaksud bukan hanya mengakui diri sebagai orang Islam karena telah bersyahadat dan atau lahir dan hidup dalam lingkungan orang-orang Islam. Akan tetapi, di sana terdapat juga konsekuensi-konsekuensi lainnya dari keberislaman. Di antaranya adalah memiliki nalar iman dan ihsan yang juga merupakan bagian dari maratibul Islam itu sendiri.
Dengan demikian, basis fundament ibadah puasa adalah nalar iman. Begitu pula etos sosial yang tumbuh kembang dalam cosmology puasa Ramadhan pun memiliki basis fundamentnya adalah nalar iman. Artinya , selain karena "keajaiban" dan "magnet" puasa Ramadhan, etos sosial yang dilakukan oleh seorang hamba dalam bulan suci Ramadhan merupakan refleksi aplikatif dari nalar iman. Misalnya, fenomena yang terlihat bahwa dengan puasa seseorang semakin semangat berbagi bukan semata karena ada kesadaran, kepekaan, kesetiakawanan dan kepedulian sosial bagi orang-orang yang tengah berpuasa wabilkhusus fakir miskin dan dhuafa, tetapi juga karena ada nalar iman yang bekerja dan beroperasi di sana.
Nalar iman demikianlah yang membuat amalan sosial dan atau etos sosial bekerja secara otentik. Orang membagi kebahagiaan melalui sedekah ini dan itu bukan karena ada apanya yang hendak diperoleh dari kalangan manusia, berupa pujian, tepuk tangan, reputasi dan popularitas. Akan tetapi semata karena Allah. Sehingga, tidak ada sama sekali tendensi lain di sana. Mereka terus berbagi kebahagiaan hatta tidak ada orang melihat, meliput, memuja dan memujinya. Karena bukan itu yang diharapkan dari etos sosialnya. Pun bukan itu yang diinginkan oleh nalar iman seseorang ketika membangun etos sosial. Tentunya nalar iman yang dimaksud adalah nalar iman yang pro pada nilai-nilai kemanusiaan.
Maka, jangan pernah mengatakan beriman manakala kita kenyang, sementara tetangga kesulitan makan minum dan kelaparan. Jangan mengaku beriman jika kita hidup aman dan nyaman, sementara tetangga bocor atap rumahnya, kebanjiran, tidur bersama hujan angin, tidur di bawah kolom jembatan, tol dan pinggir jalan maupun tempat-tempat sampah dan kumuh. Jangan mengaku beriman manakala kita selalu tertawa karena selalu merasa senang dan bahagia dengan berbagai kemegahan dan kemewahan dunia yang melimpah ruah, sementara tetangga kita malah hidup dalam puing-puing penderitaan. Jangan pula mengaku beriman manakala lisan fasih berkhutbah tentang kebaikan, sementara jiwa pelit dan kikir.
Sebab, tidak ada orang beriman yang berkarakter dan berperilaku demikian. Orang beriman tidak anti sosial; tidak zalim, serakah, tidak rakus, dan tidak pelit. Orang beriman adalah orang yang begitu peduli dengan kehidupan saudaranya, tetangga maupun lingkungan sekitar. Orang beriman adalah orang yang gemar membagi, menolong sesama. Orang beriman adalah orang yang imsak dari sikap kikir dan pelit serta bersegera "ifhtar" (membuka) berbagai jalan kebaikan untuk saudaranya. Karena orang beriman sangat menyadari hak-hak saudaranya. Bahkan orang beriman memiliki kesadaran eskatologis yang baik sehingga membuatnya selalu melakukan berbagai amalan sebagai investasi akhiratnya.
Teruslah menyempurnakan iman dengan kesalehan individual dan sosial. Karena puasa bukan semata soal kesalehan individual, tetapi juga soal kesalehan sosial yang ditandai dengan adanya kesadaran, kepekaan dan kepedulian sosial terhadap sesama anak manusia, khususnya terhadap mereka-mereka yang tergolong sebagai fakir miskin dan dhuafa. Ketika nalar iman melahirkan kesalehan individual dan kesalehan sosial, maka akan melahirkan karakter muslim kaffah bagi seseorang, sekaligus bersamaan dengan itu akan membangun tatanan kehidupan sekitar yang egaliter, adil, makmur dan sejahtera untuk semesta manusia, sekaligus menekan dan meminimalisir pelbagai patologis sosial.
Wallahu A'lam