Mudik
SETIAP menjelang Hari Raya banyak orang mudik. Mudik adalah kembali ke kampung halaman. Bisa juga kembali ke tanah kelahiran.
Intinya kita tidak bisa lepas dari asal-usul kita berasal dan tumbuh. Pada suatu saat kita akan kembali menemui asal usul kita.
Suatu saat itu adalah saat hari besar keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha.
Jadi setiap tahun orang Indonesia mudik dengan bermacam sarana transportasi. Setiap tahun juga negara sibuk menyiapkan acara mudik. Jalan, mode transportasi dan segala hal yang berhubungan dengan itu diperbaiki.
Tapi tradisi mudik sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Di belahan dunia lainnya juga tradisi mudik sudah ada. Di Mesir sejak zaman Ramses setiap tahun orang desa yang tinggal dan bekerja di kota berduyun-duyun pulang kampung. Di China juga begitu. Setiap tahun orang kembali ke kampung halaman merayakan hari besar Imlek.
Di India dan Bangladesh orang-orang Islam juga pulang ke kampung halaman masing-masing.
Saya yang terdampar di Jakarta tidak mudik seperti saudara-saudara yang lain. Saya hanya menyaksikan jalan-jalan sepi akibat ditinggal mudik.
Tapi saya bisa merasakan makna mudik. Karena dulu waktu sering ke luar kota dalam waktu lama setiap beberapa bulan sekali kembali ke Jakarta alias mudik. Disitu saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang mudik.
Ternyata ada kerinduan yang dalam melihat kampung halaman. Melihat tanah dan pohon yang setiap pagi tumbuh bersama kita. Melihat air dan udara serta orang-orang yang menjadi bagian sejarah masa kecil kita.
Di kampung halamanlah kita bisa tertawa dan berkeluh kesah pada tanah, pada pohon-pohon dan pada air yang sejuk.