Menelisik Filosofi Ketupat Lebaran; Kuliner Berbasis Kearifan Lokal
Salah satu ciri bangsa,masyarakat atau entitas budaya dengan dimensi budaya konteks tinggi (high context) menurut teori Edward Hall adalah cara berkomunikasi masyarakat tersebut dengan kelompoknya yang tidak langsung. Komunikasi dilakukan secara implisit,tidak langsung dan tidak vulgar. Pesan-pesan komunikatif dilakukan secara non verbal melalui media-media secara tersembunyi .
Dalam tatanan masyarakat tempo dulu, pesan-pesan komunikasi banyak mengandung makna dan sarat filosofi . Melalui gestur tubuh, penggunaan pakaian, penataan ruangan,dan penyajian makanan.
Dalam komunikasi high context culture mengharuskan pendengar,lawan bicara menyimpulkan dan menafsirkan simbol atau siloka di balik itu semua.
Lalu apa hubungannya dengan ketupat lebaran? Ini yang akan kita bahas.
Sudah berpuluh bahkan mungkin beratus tahun lamanya, kudapan yang bernama ketupat ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam khasanah kuliner Indonesia. Namun kemunculannya bersifat seasonal,artinya berdasarkan moment tertentu, seperti pesta,upacara adat dan yang lebih kental eksistensinya adalah di saat umat muslim merayakan Lebaran.
Catatan-catatan mengenai cikal bakal ketupat atau kupat, secara teoritis belum penulis temukan.Namun beberapa literasi yang menyatakan bahwa ketupat sudah ada muncul di tanah Jawa sejak abad ke-15 ,pada masa kerajaan Demak. Ada juga sumber yang menyatakan bahwa makanan yang satu ini muncul sejak masa Sunan Kalijaga. Benarkah? Ini perlu ditelisik secara ilmiah.
Pertanyaannya adalah kenapa pada saat hari raya Idul Fitri atau Lebaran,kuliner ini banyak diburu dan nyaris ada disetiap rumah,umat muslim yang merayakannya. Di luar konteks, penjual ketupat sayur,lontong atau ketupat tahu harian yang ada di kedai-kedai.
Massive,sistematis ,sporadis dan wajib adanya., mungkin ungkapan yang tepat ketupat di bulan Syawal,Hari Raya Idul Fitri ini. Apa hubungannya dengan ini semua?
Penelusuran secara etimologi kata ketupat atau kupat berasal memiliki dua makna, yang pertama kata Kupat adalah akronim dari "Ngaku Lepat" yang berarti mengakui kesalahan. Yang kedua kupat bermakna"Laku Papat" atau melakukan hal yang empat,yaitu Lebaran,Luberan,Leburan dan Laburan.
Lebaran menandakan usai nya menjalankan puasa, Luberan berati saling memberi,berderma, Leburan artinya saling melebrukan dosa dan kesalahan dan Laburan ditandai dengan pembersihan ruangan-ruangan dengan cara dilabur atau dicat.
Jika dikaitkan dengan moment hari raya idul fitri, makna ini memiliki hubungan yang sarat filosofi. Pasca ramadhan, setelah selesai menjalankan puasa ( ibadah secara vertikal kepada Maha Pencipta), ditutup dengan permohonanan maaf kepada sesama manusia. Jika dikaitkan dengan model dimensi budaya high context, masyarakat timur seperti Indonesia umumnya, khususnya masyarakat di tanah Jawa cenderung implisit, selalu menjaga perasaan lawan bicara sehingga ungkapan-ungkapan yang muncul dilambagkan dingan simbol atau siloka.