Bambang Trim
Bambang Trim Penulis

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Berlebaran dengan "Baju Perang"

9 April 2024   22:47 Diperbarui: 11 April 2024   06:48 2221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berlebaran dengan "Baju Perang"
Ilustrasi: Imlek di Bengkalis. Foto koleksi Johansyah Syafri dalam artikel Becak Dayung Bengkalis "Raja Jalanan Nan Akan Jadi Kenangan".

Saya mau berkisah lagi tentang momentum lebaran pada tahun 1980-an di Tebingtinggi Deli, Sumatra Utara. Kota kecil ini berjarak sekira 80 km dari Medan. Kini dapat ditempuh langsung dari Medan via tol dengan durasi kurang dari sejam.

Sebelum becak mesin (becak bermotor) merajalela, transportasi umum utama adalah becak dayung. Kami menyebutnya seperti itu karena memang dikendarai dengan cara mendayung pedal sepeda. Jenis sepeda yang digunakan adalah sepeda ontel. Mudah sekali menemukan tukang becak dayung di pinggir dan sudut-sudut jalan pada tahun 1980-an hingga 1990-an.

Terbayang betapa kuatnya para tukang becak pada masa itu. Mereka biasa beroperasi di seantero kota. Bahkan, hingga ke bagian kota yang mendaki---kami menyebutnya jalan penaikan di Tebingtinggi. Biasanya jika sampai ke bagian kota yang tinggi, penumpang becak turun sejenak. Ada juga yang membantu tukang becak mendorong becak sampai ke atas lalu naik kembali.

Para tukang becak itu mendapatkan "durian runtuh" pas lebaran karena ada tradisi "raon-raon" (berkeliling kota) dengan becak dayung. Becak dicarter oleh anak-anak sampai para remaja dengan hitungan durasi 1--2 jam. Anak-anak itu pun urunan membayar ongkos becak setelah negosiasi yang alot.

Satu becak dapat memuat sampai 8--10 orang. Gambarannya seperti ini. Tiga orang duduk di bangku becak, dua orang duduk di besi pembatas bagian depan, tiga orang duduk di tenda belakang (lipatan tenda dari kulit yang biasa digunakan saat panas atau hujan), dan satu orang duduk membonceng di belakang tukang becak. Kalau yang naik becak badannya kecil-kecil, bolehlah memuat lebih banyak lagi.

Jika tradisi ini kami jalankan pada siang hari dan sore hari, bahkan hingga malam hari, kami pun menanggalkan baju baru. Baju-baju perang alias baju rumahan yang dikenakan. Mengapa? Bahaya karena naik becak berkeliling kota yang memang cuma seuprit itu  berarti bersiap untuk berperang. Berperang air dan pistol air.

Jadi, selain tukang becak yang ketiban rezeki lebaran, tukang mainan yang menjual pistol air juga sama. Pistol air menjadi mainan khas pada masa itu dengan berbagai modelnya. Lewat becak dayung itulah perang air dilancarkan. Kalau yang digunakan air biasa, tak masalah. Tapi, saat itu yang digunakan adalah air diberi gincu (pewarna) dengan maksud membuat baju baru berantakan. 

Alamak, jika terkena baju baru, susahlah menghilangkan gincu yang terkadang dicampur dengan ramuan lain itu. Ada juga yang perlu diwaspadai. Banyak juga anak yang tak punya akhlak. Mereka menggunakan (maaf) air kencing untuk perang-perangan ini. Tapi, ini termasuk pelanggaran etika berat sehingga terkadang malah mengundang keributan. Padahal, maksud perang-perangan ini sekadar seru-seruan ala anak-anak pada zaman dahulu.

Bagi mereka yang belum pernah mengalami hal ini, mungkin senang-senang saja naik becak sambil mengenakan baju terbaiknya. Mereka tidak tahu bahwa kemeriahan lebaran di Tebingtinggi dirayakan dengan cara yang khas berperang air. Sering kali terjadi baju baru itu pun menjadi berwarna-warni terkena air gincu. Kasihan, tapi apa boleh buat karena situasi "perang air" itu sudah lumrah terjadi. 

Kami yang bersiap untuk berperang, selalu memilih tukang becak yang masih muda dan gesit. Makin gaul tukang becaknya maka makin asyik dan bersemangatlah kami. Becak yang bagus pun menjadi pilihan karena memang akan digunakan sebagai "kendaraan perang". Jadi, tukang becak dan becaknya memang harus prima. Apalagi, jika terjadi aksi berkejar-kejaran antarbecak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun