All this talk about equality. The only thing people really have in common is that they are all going to die.
Ramadan yang Terselip dalam Ingatan
Samar-samar bayangan di masa kecil saat serunya mendengar orang-orang bersahutan membangunkan sahur dengan kentongan atau bedug.
Berisik? Tentu saja, bagi saya yang waktu itu masih balita dan akhirnya terbangun.
Oleh bapak, saya diajak ke luar rumah. Duduk di teras, tepat di pinggiran jalan, jalur lintasan rombongan tersebut.
Di kampung halaman saya, tradisi itu disebut "thethek", alias membunyikan kentongan (atau benda keras lainnya) dengan tujuan membangunkan warga agar segera bersantap sahur.
Dalam lipatan ingatan yang lain, sayup-sayup terngiang suara azan Maghrib dari masjid di dekat rumah saya.
Sebuah masjid kampung yang waktu itu sebagian bangunannya masih berdinding kayu dan tampak sempit.
Suara azan satu-satunya dari masjid di pinggir jalan, bersahutan dengan suara azan dari radio yang saya setel di rumah.
Entah perasaan semacam apa, tapi rasanya seru juga menunggu azan lalu lari ke dalam rumah mencari segelas air atau langsung bersantap.
Dalam lipatan ingatan Ramadan di awal 90-an itu, momen-momen tersebut saya jalani sendirian.
Bahkan, saya tak pernah ingat dengan pasti. Apakah setelah "berbuka" itu saya segera berangkat ke masjid yang jaraknya cuma 20 langkah.
Begitu pula, saya tak pernah ingat dengan yakin apakah di masa kecil pernah dalam sehari saja menjalankan puasa dengan utuh.